Kapan Nikah? Mbak sy sdh sampai – Seseorang mengirimkan sebuah chat WA padaku. Aku segera keluar dari galeri undangan adikku -Kebetulan adikku membuka usaha percetakan undangan-. Kupanggil seorang lelaki yang masih duduk di motor maticnya yang berwarna putih. Di jok belakang duduk istrinya sembari menggendong anaknya yang cantik dan menggemaskan.
“Mas!” Panggilku. Kulemparkan senyum saat lelaki yang belum kukenal itu menoleh.
Lelaki itu segera turun dan disusul oleh istrinya. Aku cepat menghampiri mereka.
“Duduk di sini ja ya Mas.” Maksudku di gardu bekas pos satpam yang tidak jauh dari galeri undangan adikku. “Di dalam sempit soalnya.” Maksudku di dalam galeri undangan adikku. Lelaki itu mengangguk dan memarkir motornya di depan gardu.
Segera kuambil sapu yang tergeletak di gardu. Sebuah sapu tua yang lapisan plastik di bagian gagangnya banyak yang terkelupas. Bagian ijuknya juga sudah terbelah dua seperti poni rambut. Aku berusaha membersihkan lantai gardu yang kotor dengan sapu tersebut.
“Loh Dim,” teriak lelaki yang belum kutahu namanya itu. Aku spontan menoleh karena dia memanggil nama adikku.
“Mas,” balas adikku dengan raut wajah kaget. Ia baru saja keluar dari galeri undangannya.
Rupanya mereka saling mengenal dan itu membuatku bersyukur. Tawar menawar laptop yang hendak kujual dapat dilakukan dengan lebih nyaman. Mereka satu sekolah dan satu organisasi di PMR semasa SMK dulu.
Lelaki Pembeli Laptop
Kami duduk lesehan di gardu yang lantainya sudah bersih membentuk ¼ lingkaran. Posisi duduk kami dari kanan ke kiri, aku, lelaki pembeli laptop, adikku, dan istri lelaki pembeli laptop. Tak usah ditanyakan alasannya kenapa posisinya begitu. Masing-masing dari kami sepertinya mengikuti insting saja.
Saya duduk di dekatnya lantaran kami akan membicarakan perihal laptop. Adikku duduk di dekatnya lantaran ia hendak mengobrol dengan mantan kakak kelasnya. Lelaki pembeli laptop secara tidak sengaja akhirnya harus berinteraksi dengan dua orang sekaligus. Aku dan adikku. Sang istri sepertinya ingin memberikan kebebasan kepada suaminya, sebab ia hanya mengantar saja.
Maaf, aku lupa nama dari kakak kelas adikku sekaligus calon pembeli laptopku itu. Jadi ya kusebut saja dia dengan lelaki pembeli laptop. Kalau mau mengira-ngira umur, lelaki pembeli laptop sudah pasti lebih muda dariku. Jika dia kakak kelas adikku, maka kemungkinan ia kelahiran antara 1991 dan 1992. Sementara aku kelahiran 1989 dan adikku 1993.
“Ini mas laptopnya. Silahkan dicek dulu!” Kuserahkan laptopku pada lelaki pembeli laptop.
Ia menerimanya tapi tak langsung membukanya. Ia malah meletakkan laptopku di dekat kakinya yang bersila. Sepertinya ia masih ingin mengobrol dengan adikku.
Urusan laptop akhirnya menjadi urusan kesekian. Pembicaraan selanjutnya tentang nostalgia antara dia dan adikku. Tak ada pilihan lain, aku harus sabar karena hanya bisa menjadi pendengar. Sesekali ikut tersenyum atau tertawa di tengah candaan mereka. Sementara sang istri lelaki pembeli laptop sibuk menjaga anaknya yang sedang senang-senangnya berjalan kesana kemari.
Kapan Nikah?
Entah berapa lama kami mengobrol. Pembicaraan mulai mengarah ke inti permasalahan.
“Kenapa Mbak laptopnya mau dijual?” tanya lelaki pembeli laptop.
“Lagi butuh uang mas,” jawabku singkat. Aku tak ingin menjelaskan alasannya lebih lanjut.
Aku pikir ia akan langsung menawar harga. Tapi ternyata aku salah. Pembicaraan masih berbelok terlebih dahulu ke masalah jodoh. Ia mulai bercerita bagaimana proses ia bertemu dengan istrinya. Katanya waktu itu dia sedang ada di titik terendah dalam kehidupannya dari segi ekonomi.
Napasku terasa makin berat. Aku hanya berani mengangguk-ngangguk saja atau menyeringai. Aku tak lagi berani tersenyum apalagi tertawa.
Ya Allah, jangan sampai dia mengeluarkan pertanyaan pamungkas. Batinku. Tapi keinginanku tak terkabul.
“Kalau Mbaknya udah nikah?” tanya lelaki pembeli laptop. Pertanyaan yang membuatku diam-diam menghelas napas berat nan panjang. Lalu terpaksa menjawab ‘tidak’ dengan sejuta perasaan tak nyaman.
Bertanyalah dengan Rasa Empati
Sebagian orang masih menganggap pertanyaan ‘kapan nikah?’ adalah pertanyaan biasa-biasa saja. Tak masalah ditanyakan kepada mereka-mereka yang masih jomblo terutama jomblo dengan usia kepala tiga. Tanpa mereka sadari, pertanyaan ‘kapan nikah?’ dapat menyakiti perasaan seseorang.
Saya pribadi, jujur sudah tidak lagi tersakiti dengan pertanyaan ‘kapan nikah?’ dan sejenisnya. Tapi saya tak pernah nyaman dengan pertanyaan itu. Selalu ada sedikit gusar dalam hati setiap kali pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Saya tiba-tiba merasa terhakimi lantaran belum juga menikah.
Ah kamu sih terlalu pemilih.
Mau cari yang seperti apa lagi?
Jangan terlalu sibuk mengejar karir.
Itulah berbagai pertanyaan dan pernyataan lanjutan yang cenderung menuduh. Seakan-akan mereka yang belum menikah semuanya begitu. Terlalu pemilih, terlalu sibuk, dan sebagainya. Padahal tidak semuanya begitu. Meskipun ya mungkin ada yang seperti itu. Tapi saya pastikan hal itu tidak berlaku kepada semua orang yang belum menikah.
Sebut saja namanya Fani. Umurnya 30 tahun saat aku berumur 27 tahun. Kami rekan kerja di Sekolah Alam Depok sekitar tahun 2107 lalu. Pernikahannya dibatalkan secara tiba-tiba oleh pihak lelaki tanpa alasan yang jelas.
Panggilannya Yek, kami masih saudara sepupu. Ia lebih tua dariku 4 tahun. Aku mendengar dia berkali-kali hendak melamar seorang perempuan. Berkali-kali pula gagal dengan berbagai macam alasan penolakan dari pihak perempuan. Alhamdulillah, sekarang ia sudah menikah sekitar setahun lalu dan sekarang istrinya hamil anak pertama.
Namanya mengandung arti kemerah-merahan. Kami teman seperjuangan selama masa perantauan di Depok. Kami juga masih memiliki tali persaudaran. Ia tak pernah bisa menjalin hubungan, bahkan memulainya seperti sekedar kenalan pun tak bisa.
Ia selalu over thingking, sebab ada trauma masa kecil yang tak banyak diketahui orang. Bagaimana tidak, orang tuanya sudah berpisah bahkan sebelum ia lahir. Siapa peduli soal kondisi psikologisnya. Siapa peduli bahwa sampai saat ini ia masih berjuang mengendalikan emosinya yang tidak stabil. Siapa peduli bahwa pertanyaan ‘kapan nikah?’ dapat membuatnya menangis semalaman.
Lalu saya sendiri? Rasanya tak perlu saya ceritakan. Sebab sungguh menyebalkan jika harus menceritakan rasanya berkali-kali ditolak dan ditipu.
Bertanya ‘kapan nikah’? sebenarnya ya boleh-boleh saja. Masalahnya sebenarnya bukan dipertanyaannya. Tapi lebih kepada si penanya. Acapkali pertanyaan ‘kapan nikah’ dijadikan bahan candaan dan basa-basi. Lebih jahatnya lagi dijadikan bahan untuk mempermalukan seseorang di khalayak ramai. Seakan-akan belum menikah sampai umur 30 tahun itu adalah aib besar.
Kami yang belum menikah ini sungguh akan bersenang hati jika pertanyaan ‘kapan nikah’ disampaikan dengan cara yang baik. Seperti yang pernah dilakukan oleh Pak Ayyub atau yang biasa dipanggil Babe karena asli orang Betawi. Seorang teman sejawat saat masih bekerja di SMP Indonesia Natural School Depok.
“Punten Kak Luluk. Kenapa Kak Luluk belum menikah?” tanyanya dengan sopan padaku.
Saat itu kami sedang duduk santai di tepi pantai sambil menunggu pesanan ikan bakar kami datang. Pertanyaan itu tak serta merta ia sampaikan. Sebelumnya kami sudah mengobrol panjang lebar. Artinya saya sudah merasa nyaman dengan semua topik pembicaraan yang akan muncul.
Babe juga bertanya tanpa niat menghakimi. Ia benar-benar tulus karena merasa empati. Ia pun tak memberikan nasehat macam-macam yang biasanya justru menyudutkan.
“Coba perbanyak baca salawat Kak,” sarannya.
Mari kembali kepada lelaki pembeli laptop. Kenapa saya tak nyaman saat ia menanyakan apakah saya sudah menikah apa belum? Alasannya karena kami baru kenal. Saya tak sampai marah karena dia tak punya niat buruk. Tak ada niat bercanda atau hanya sekedar basa-basi. Kebetulan dia juga sedang membicarakan soal proses dia menemukan jodoh. Jadi ya masih relevanlah pertanyaannya.
Mari Saling Menghargai
Jika ingin bertanya ‘kapan nikah?’ atau pertanyaan sejenisnya mohon berhati-hati. Ingat, tidak semua orang nyaman dengan pertanyaan itu. Kalian tidak tahu, bisa jadi orang yang kalian tanyakan baru saja batal menikah, baru saja ditolak, dan atau punya trauma masa kecil. Bukan tidak mungkin itu akan semakin menyakiti perasaan mereka.
Kalian mungkin pernah bercanda dengan teman dekat menggunakan pertanyaan ‘kapan nikah?’. Lalu teman kalian biasa-biasa saja alias tidak baper. Tapi jangan lakukan itu kepada orang lain yang bukan teman dekat kalian. Bahkan ke teman dekat sendiri sebaiknya jangan. Lagi-lagi bisa jadi dia hanya berpura-pura tidak apa-apa. Kecuali kamu bisa memastikan bahwa temanmu tidak masalah akan hal itu.
Bertanyalah ‘kapan nikah?’ dengan rasa empati. Maksudnya apa? Kalau baru bertemu teman, kenalan, atau orang baru, jangan serta merta bertanya ‘kapan nikah?’ atau ‘sudah nikah apa belum?’. Jangan pula bertanya dengan niat bercanda, basa-basi, dan menggoda. Masih banyak soalnya orang-orang yang seperti ini.
Kalau kamu memang niat bertanya, mulailah dengan kata yang baik. Semisal ‘maaf’ atau ‘kalau boleh tahu’. Sebisa mungkin bukalah pembicaraan dengan topik yang lain terlebih dahulu. Kami yang belum menikah ini akan dengan senang hati menjawabnya. Tak hanya akan menjawab, kami juga tak akan segan mendiskusikannya.
Baca juga: Lagu Ida Laila di Pesta Pernikahan Masyarakat Madura
We have a same side about this.
Pernah suatu ketika, ada seorang teman jaman sekolah menengah pertama. Kami nggak pernah berkomunikasi. Aku nggak lagi punya kontaknya.
Suatu hari dia menelponku. Ternyata dia masih menyimpan nomor ku. 5erlebih aku memang tidak suka gonta-ganti nomor.
Ku pikir, tumben sekali dia menelpon.
Lalu pertanyaan pertama setelah salam, bahkan tanpa basa-basi adalah, “sudah punya anak berapa kamu?”
Gila.
Warga +62, kebanyakan emang pada ga paham mana urusan pribadi atau bukan. Emangnya jawaban kita mempengaruhi dunia mereka aja. Hadeh, Mending kalo dikasih solusi. Kebanyakan malah menghakimi. Capek deh.
Bu Tejo bilang, “Dadi wong iku kudu solutip ngono lo..”
[…] Related: Bertanyalah ‘Kapan Nikah’ dengan Rasa Empati […]