Bertahan Hidup di Perantauan. Hidup di perantauan itu rasanya lebih dari nano-nano. Nggak cuma ‘Manis, Asam, Asin, Rame Rasanya’. Tapi juga ‘Kecut, Pedas, Pahit, Susah Rasanya’. Apalagi kalau masih single macam saya ini. Harus pintar-pintar bertahan hidup.
Tulisan ini saya buat saat saya masih di depok, tapi belum sempat saya upload ke blog tercinta saya ini. Berhubung saya sudah balek ke kampung dan sedang jadi ‘Pengacara’ alias pengangguran banyak acara, jadi saya cek-cek lagilah stok tulisan saya. Lumayan buat nambah-nambahin konten blog.
So, langsung saja. Ini dia cara saya bertahan hidup selama saya tinggal di Kota Depok. Kota Belimbing, Kota Satelitnya Jakarta, Kota yang begitu macet namun tetap saya sayangi. Sebab di Kota Depok saya terlatih menjadi Wonder Woman.
Pinjam Uang ke Teman
Hal yang paling sering terjadi adalah gajian di pagi hari, sorenya rekening sudah tersisa saldo minimal saja. Semua uang sudah ada posnya masing-masing. Buat bayar kontrakan, buat bayar cicilan motor, buat bayar listrik, buat beli gas sama beras, dan buat bayar hutang bulan kemarin.
Sebulan ke depan bagaimana? Ya cari pinjaman lagi. Begitu terus sampai kantong Doraemon tak ajaib lagi. Saya ada daftar teman yang bisa dipinjami uang. Meski hanya 10 ribu, 20 ribu, 50 ribu, sampai 100 ribu. Saya menulis ini sambil mengingat wajah mereka. Saya jadi senyum-senyum sendiri mengingat betapa baik dan lucunya mereka.
Oke, jangan ditiru ya. Bagaimanapun saya tidak bermaksud berbangga hati karena punya banyak teman yang dapat saya pinjami uang. Jujur, saya mengakui kalau saya kurang bisa mengatur uang dengan baik. Meski saya bukan tipe orang yang suka belanja baju dan juga make up. Tapi ya itu kenyataannya. Saya selalu kesusahan uang selama di perantauan.
Numpang Cuci Baju di Rumah Teman
Semenjak Bu Kos menyediakan mesin cuci untuk saya secara gratis, saya jadi malas mencuci baju pakai tangan. Apalagi saya baru sempat cuci baju seminggu sekali saking sibuk dan stresnya. Lebih banyak stresnya sih ketimbang sibuknya.
Pernah mesin cuci di kosan saya itu rusak cukup lama lantaran nggak diservis-servis. Mau gimana, saya nggak punya uang Buk. Tapi sebagai anak kos yang berbakti, lantang saya berkata, “Sudah Bu Kos, saya yang akan memperbaiki,”. Maksudnya saya yang akan mengurus perbaikannya. Mulai dari mencari tukang servisnya sampai membayar biayanya.
Sambil menunggu uang untuk servis terkumpul, saya mencari cara agar saya tak perlu lagi mencuci baju dengan tangan. Tak usah memutar otak keras-keras, tak usah malu-malu, saya ada teman yang punya mesin cuci. Langsung saja saya bilang ke mereka, “Numpang cuci baju ya!”
Nggak cuma numpang cuci baju aja dong. Saya juga pakai detergen mereka. Terus jemurnya juga di rumah mereka. Selama menunggu cucian kering, saya sekalian main dan numpang makan sekenyang-kenyangnya. Ah teman macam apa saya ini.
Numpang Makan ke Teman
Saya paling senang kalau ada yang menghubungi atau nyariin saya.
Mbak Luk da dimana? Sini ke rumah.
LL, main ke rumah.
Mbak, saya ke kosan ya!
Itu semua adalah kalimat-kalimat petunjuk bahwa akan ada makanan dan camilan gratis. Kalau temen yang main ke kosan sudah pasti pada bawa makanan. Kalau saya yang main ke mereka, sudah pasti saya bisa masak sendiri layaknya rumah Sendiri. Yang paling saya incar biasanya stok mie instan mereka.
Ah saya mau ketawa, sumpah mereka nggak tahu kalau saya punya pikiran macam begini. Kalau tahu, kayaknya saya bakalan diusir dan dihapus dari daftar pertemanan.
Berkeluh Kesah pada Teman
Hidup berdua di perantauan itu nggak gampang. Rentan stres karena pekerjaan dan jalanan yang macet. Belum lagi polusi yang tinggi. Belum lagi kalau sakit meski hanya migrain, kelelahan, linu-linu, dan insomnia.
Semua kondisi itu ditambah dengan kantong kering dan hati yang kosong. Maksudnya jomblo. Dan kejombloan ini adalah penyebab stres terberat. Berkali-kali saya curhat soal jodoh kepada sahabat-sahabat karib saya.
Keder juga Buk lihat teman-teman, baik teman kuliah maupun teman SMA. Sudah banyak yang pada nikah. Kalau pun belum, karir mereka yang tokcer. Lah saya masih begini-begini ja. Rasanya nggak ada yang bisa saya banggakan dari diri ini. Udah jomblo, kere lagi.
Nah kalau sudah pusing soal hidup artinya sudah waktunya berkeluh kesah. Untungnya teman-teman saya pada sabar. Mereka mau mendengarkan cerita saya dan selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik.
Numpang Tidur di Kosan atau di Rumah Teman
Suatu hari, sekolah tempat saya mengajar akan menghadapi penilaian untuk akreditasi sekolah. Terpaksa dong guru-guru pada lembur sampai malam. Semuanya berkewajiban menyusun dan mengumpulkan berkas-berkas yang disyaratkan.
Karena kosan saya jauh dari sekolah, hampir butuh waktu 45 menit sekali jalan. Itu kalau macetnya yang biasa-biasa saja. Kalau Macet banget, bisa butuh waktu sampai 1 jam perjalanan. Jadi ketimbang saya capek, saya nginep ja di salah satu kos teman. Dan saya menginap hampir semingguan.
Selain karena lembur, kalau sekolah ada kegiatan study tour ke luar kota, saya juga harus menginap. Keberangkatan selalu pagi dan kepulangan selalu malam. Agar tidak terlambat dan demi keamanan, ya akhirnya nginap ja.
Nggak cuma karena pekerjaan sih, saya juga sering menginap di rumah teman pada akhir pekan. Ya tujuannya buat kumpul-kumpul ja. Nonton film bareng, masak bareng, makan bareng, dan diskusi bareng soal kehidupan. Diskusi yang kami lakukan selalu berakhir dengan gelak tawa. Saat kami menyadari betapa lucunya hidup ini. Kalau sudah begini rasanya jadi kayak punya keluarga gitu.
Belajar pada Banyak Orang
Saya sangat bersyukur karena bisa dan pernah tinggal di Depok. Saya bahkan menyebut Depok sebagai Universitas Kehidupan bagi saya. Di kota ini saya bertemu dengan banyak orang. Kepada mereka saya lalu belajar banyak hal. Jangan salah, kenalan yang sejalan bisa menularkan energi positif. Maka hidup pun bisa lebih berarti.
Hal yang paling saya banggakan adalah, kota ini memberikan saya kesempatan untuk belajar menulis. Saya pernah bergabung dengan banyak komunitas kepenulisan. Salah satunya dengan ODM (Orang Depok Menulis). Di Kota ini pula saya banyak mengikuti pelatihan menulis baik secara online maupun offline. Di Kota ini pula saya berani menerbitkan buku antologi pertama saya dan memulai karir sebagai blogger.
Itulah cara saya bertahan hidup di perantauan. Intinya saya bertahan hidup dengan mengandalkan teman. Itulah kenapa punya teman itu penting. Sekarang saya sudah di kampung halaman. Rasanya suatu hari saya harus megundang mereka ke Madura. Gantian dong, waktunya saya menjamu mereka sepuasnya di rumah. Ia kan?
Baca Juga: Perempuan Malam di Terminal Lebak Bulus
Kurang lebih lah ya. Cuma urusan mengatur keuangan coba cek deh di postingan terbaru eike. Ada tuh tips ala-alanya. Hehehe
Miss you, mba lu