Warung Prasmanan. Ada banyak kejadian-kejadian kecil dalam hidup kita yang dapat dijadikan pelajaran. Kejadian yang membuat kita takjub dan terheran-heran. Soal kejadian-kejadian kecil ini, saya juga pernah mengalaminya. Salah satunya akan saya ceritakan pada tulisan kali ini.
Saya bertemu dengan seorang kakek yang membuat saya terus berpikir, ‘kok bisa ya masih ada orang seperti ini di jaman sekarang?’. Saya tidak tahu nama kakek tersebut. Yang saya tahu dia dipanggil ‘Aba’. Panggilan yang orang Madura sematkan kepada orang tua yang sudah naik haji. Panggilan ini khusus laki-laki ya.
Aba memiliki warung nasi di jalan RE. Martadinata, Bangkalan, Madura. Dekat juga dengan kampus keperawatan Ngudia Husada Madura. Warungnya bisa dibilang besar dan bagus untuk ukuran warung nasi. Tapi menu yang disediakan tidak begitu beragam. Waktu saya ke sana saya hanya menemukan telur ceplok, tongkol, ikan asin, tempe, tahu, dan ayam kentucky yang potongannya kecil-kecil. Yah seukuran setengah jempol tangan saya lah.
Selain lauk yang terbatas, sayurnya pun minimalis. Hanya ada sayur bayam dan sayur sop doang. Cuma, warung ini punya keistimewaan yang akan membuat siapa saja menyenanginya. Keistimewaannya adalah Aba, sang pemilik warung nasi itu sendiri. Ah, pokoknya saya mah jatuh cinta
sama si Aba. Saya yakin kamu juga akan begitu.
Kelaparan di Siang Hari
Kejadian ini terjadi saat awal-awal saya kembali menetap di kampung halaman. Sambil lalu, selain tinggal di desa (rumah orang tua), saya juga sering menginap di Mbak Hikmah (kakak tertua). Rumah Mbak Hikmah ada di Bangkalan Kota. Kalau lagi menginap, saya bertugas antar jemput Mbak Hikmah mengajar.
Nah, pernah sekali saat saya menjemput Mbak Hikmah, ia mengajak saya mampir di warung Aba. Katanya ia lapar. Saya pun juga lapar. Makanya saya langsung mengiyakan ajakannya.
Sebenarnya ada banyak warung, tapi Mbak Hikmah tetap memilih untuk membeli makan di warung Aba. Alasannya sih katanya murah harganya. Yah jadi saya tak banyak protes. Saya juga suka kok makanan dengan harga murah.
Warung Prasmanan
“Masuk, masuk!” perintah Aba saat kami sudah turun dari motor.
“Sudah ambil sendiri nasinya!” Lanjut Aba saat kita sudah masuk ke warungnya.
Aba lalu berjalan menuju 3 rice cooker berukuran 1,8 liter. Ketiga rice cooker berada di atas meja yang menempel di tembok belakang. Aba lalu membukakan tiga tutup rice cooker tersebut. Di dekat meja rice cooker ada pintu penghubung antara warung dan dapur.
“Ambil piringnya dulu Luk!” Ucap MBak Hikmah. Maklumlah, saya kan pertamakali datang ke warung Aba. Saya belum tahu kalau warung Aba konsepnya warung prasmanan.
Saat kami mengambil nasi dan dilanjutkan mengambil lauk, Aba masuk ke dapur. Selain mengusung konsep prasmanan, Aba sepertinya mengusung konsep warung kejujuran. Ia tidak perlu khawatir pembelinya akan berlaku curang.
Tak lama Aba datang membawa piring berisi tahu dan tempe goreng. Diletakkannya piring tersebut di etalase diantara lauk-pauk yang lain.
“Ini kalau mau tempe sama tahu, baru digoreng ini,” tutur Aba.
Gratis Satu Botol Air Dingin
Selesai mengambil lauk dan sayur, saya dan Mbak Hikmah kemudian duduk di salah satu kursi yang dilengkapi dengan meja kayu besar. Kami kemudian mulai menikmati menu pilihan kami. Saat itu Aba mendekati kami lalu menyodorkan dua botol air minum dingin ke dekat piring kami.
“Ini minumnya, takut haus,” kata Aba.
“Terima kasih Ba,” ucap saya sambil menganggukkan kepala meski saya bingung. Saya merasa, saya atau pun Mbak Hikmah tidak memesan air dingin sama sekali.
Saya menoleh ke Mbak Hikmah yang lahap menyantap makanannya. Karena dia yang akan membayar, apakah air dari Aba akan di minum atau tidak ya tergantung keputusannya. Tapi dia cuek saja. Jadi ya saya artikan kalau tak apa ada biaya tambahan untuk 2 botol air dingin. Kebetulan sekali saya memang ingin meneguk air karena tenggorokan sudah seret.
Aba kembali sibuk dengan aktifitasnya. Dari semenjak kami datang, Aba terus saja mondar-mandir antara dapur dan warung. Saat Aba masuk ke dapur, segera saya ambil salah satu botol air dingin. Lalu saya sedikit kaget saat membukanya.
“Mbak kok ini segelnya seperti sudah terbuka?” tanya saya pada Mbak Hikmah.
“Iya, itu kan memang isi ulang,” jawab Mbak Hikmah santai.
“Ini dijual?” tanya saya lagi.
“Gratis,” jawab Mbak Hikmah pendek.
Aba sungguh sangat baik. Beliau menyambut kedatangan kami dengan begitu hangat. Kami diperlakukan selayaknya cucu sendiri yang sedang berkunjung. Hingga saya merasa seperti makan di rumah sendiri, bukan makan di warung. Tidak hanya itu, Aba melengkapi kebaikannya dengan sedekah yang begitu ikhlas.
Kulkas Aba dipenuhi dengan botol plastik mineral ukuran 600 ml. Semua botol-botol itu diisi dengan air sendiri oleh Aba dengan air isi ulang. Kalau misalnya air-air itu Aba jual, anggaplah harganya Rp. 1.000 sampai Rp. 2.000. Bayangkan berapa keuntungan yang bisa Aba dapatkan.
Ya tentu saja mari kita abaikan bahwa botol yang Aba gunakan adalah botol bekas. Toh saya yakin Aba pasti mencucinya setiap kali akan mengisi botol-botol itu. Soal air yang Aba pakai, saya juga yakin itu air layak minum. Menurut saya Aba tak terlihat sebagai orang yang sembrono. Jadi mari fokus ke kebaikan yang sudah Aba lakukan.
Aba yang Begitu Baik
Kami pun selesai makan dan waktunya bertransaksi alias melakukan pembayaran. Kami memanggil Aba yang masih ada di dapur. Mendengar suara kami Aba segera bergegas keluar untuk menghampiri kami yang berdiri di dekat etalase tempat lauk-pauk dan sayur.
“Saya pakai telur ceplok, ayam satu, sama sop Ba,” lapor Mbak Hikmah.
“Saya ayam dua dan sayur sop Ba,” lapor saya.
“Oh ya kerupuk dua Ba,” lapor MBak Hikmah lagi.
Aba diam sejenak untuk mengkalkulasi berapa yang harus kami bayarkan. “Tujuh belas ribu,” jawab Aba kemudian.
Wow murah banget. Batinku.
“Luk kamu nggak ada uang seribu?” bisik Mbak Hikmah tiba-tiba.
Deg. Perasaan saya langsung nggak enak. “Nggak Mbak,” jawab saya.
Mendengar jawaban saya Mbak Hikmah langsung terlihat gelisah. Saya
pun ikut gelisah. Saya tahu uang Mbak Hikmah kurang.
“Ba, maaf uangnya kurang seribu,” tutur Mbak Hikmah.
Yah terpaksa, mau bagaimana lagi. Menyerahkan diri adalah pilihan terbaik. Saya sudah siap-siap buat ngepel, cuci dandang, juga cuci piring. Tapi Alhamdulillah, Aba sungguh sangat baik.
“Oh, ya nggak papa. Sudah yang pakai telor dan ayam saya hitung tujuh ribu juga. Nasinya kamu juga pasti ambil sedikit tadi,” putus Aba bijak.
“Maaf ya Ba,” ucap mbak lagi sambil menahan malu yang teramat sangat.
“Ya, wes nggak papa,” jawab Aba menenangkan kami.
Ah saya tak habis pikir. Kalau Mbak Hikmah hanya memegang sedikit uang, kenapa dia mengajak saya makan di warung? Lebih tidak habis pikir lagi sama Aba. Kok bisa dia begitu baik.
Aba berdagang bukan semata-semata untuk mencari keuntungan. Tapi dia juga bersedekah lewat air minum dan nasi yang bisa diambil sepuasnya.
“Saya kasihan sama mahasiswa-mahasiswa itu, Apalagi kalau sudah akhir bulan. Pasti uangnya sudah tinggal sedikit. Makanya saya nggak mau jualan mahal-mahal.”
Itulah perkataan Aba yang diceritakan oleh Mbak Hikmah saat kami sudah sampai di rumah. Baiklah Aba, terima kasih sudah menginspirasi saya. Bahwa tidak perlu merasa rugi saat berbuat baik dan memberikan lebih kepada orang lain.
Baca Juga: Kuliner Depok dan Madura
murah banget makan ayam 3 biji ga ada 20 ribu. Warung prasmanan memang paling top buat mahasiswa
Woho.. Lain kali kita ke Bangkalan,makan disitu yuk…