Sastra lisan Madura

4 Sastra Lisan Madura dalam Kenangan

Sastra Lisan Madura – Sewaktu saya kecil ibu sering berkisah tentang seorang gadis kecil yang terpaksa hidup bersama seorang raksasa. Meski ia sering mengulang-ngulang ceritanya, saya selalu antusias mendengarkannya. Di lain waktu ibu juga sering bernyanyi, begitu aku menganggapnya. Ibu bilang ia sedang syi’ir-an. Sewaktu saya kecil pula, masih teirngat jelas bagaimana saya dan teman-teman sebaya suka mendendangkan pantun bersama-sama. Pantun-patun itu kami dapatkan dari para orang tua kami. Rupanya semua itu adalah bentuk sastra lisan Madura.

Sastra lisan adalah karya sastra dalam bentuk ujaran (lisan). Sastra lisan sering juga disebut sebagai sastra rakyat karena muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat biasa. Pewarisannya dilakukan secara turun menurun dari generasi ke generasi.

Sastra Madura baik berupa lisan maupun tulisan sangat diminati oleh masyarakat Madura masa lampau. Melalui sastra Madura masyarakat dapat mengekpresikan diri juga menyampaikan pesan moral dan agama. Sayangnya, sastra Madura telah mengalami keterputusan dengan generasinya. Terutama sastra lisan.

Entahlah, saya sendiri sering berpikir apakah masih ada generasi di bawah saya yang mendengar cerita-cerita tentang raksasa. Seberapa banyak yang masih suka mendendangkan pantun bersama teman-teman sebayanya. Atau mungkin jangankan mengenal sastra Madura, memakai bahasa Madura saja bisa jadi mereka merasa malu. Ah, semoga ini hanya buruk sangka semata.

Berawal dari kekhawatiran ini saya mencoba untuk menuliskan beberapa sastra lisan Madura yang saya dapatkan dari ibu dan beberapa kejadian di masa lalu. Setelah menelaah beberapa sumber melalui internet saya menyimpulkan ada empat sastra lisan Madura yang sudah saya dapatkan. Berikut empat sastra lisan yang saya maksud.

1. Dongeng

Ada empat dongeng yang sering ibu ceritakan kepada saya: (1) Cerita tentang seorang gadis bernama Saregenten yang terpaksa tinggal bersama seorang raksasa bernama Mak Butah. (2) Cerita tentang seorang anak yang hidup di atas pohon. Ibu anak tersebut selalu bernyanyi saat memanggil anaknya jika sedang berkunjung. (3) Cerita tentang seorang gadis bernama Beng Pote (Bawang Putih) yang durhaka kepada ibunya. (4) Cerita tentang seorang raksasa yang selalu kelaparan meski telah makan begitu banyak. Hal itu terjadi karena raksasa tidak pernah berdoa sebelum makan.

Keempat dongeng tersebut diceritakan menjelang sore. Ya sore bukan malam di mana dongeng biasa disampaikan. Ke empat dongeng itu juga diceritakan ibu terus menerus secara bergantian. Seperti saya katakan sebelumnya, saya tidak pernah bosan mendengarkan cerita dari dongeng-dongen tersebut. Ibu selalu pandai mendongeng. Suaranya menjadi besar dan berat saat menirukan suara raksasa. Suaranya terdengar seram saat bernyanyi mewakili ibu yang anaknya tinggal di atas pohon.

“Ibu tahu cerita itu dari siapa?” Tanyaku pada suatu waktu. Ibu bilang dia mendapatkan cerita itu dari nenekku. Lalu nenekku mendapatkan cerita itu dari nenek buyutku (nenek ibu). Sangat jelas bagaimana dongeng-dongeng ini diwariskan secara turun temurun. Terkait cerita lengkap dari masing-masing dongeng akan saya tulisa pada tulisan selanjutnya.

2. Syi’ir

Syi’ir (Sya’ir) adalah rangkaian kata-kata indah yang membentuk kalimat-kalimat yang terpadu. Syi’ir Madura tersusun dari 4 padda/biri (baris). Tiap baris terdiri dari 10 keccap (ketukan). Tiap akhir suara mengandung pola a-a-a-a. Syi’ir banyak berkembang di pesantren-pesantren.

Contoh-contoh syi’ir bisa kita dapat dengan mencarinya secara online. Dalam tulisan ini saya akan menulisakan dua syi’ir yang ibu saya dapatkan dari kakek. Sebenarnya ada banyak syi’ir yang sering ibu nyanyikan, tapi dalam tulisan ini saya hanya akan menuliskan dua syi’ir romantis saja.

Pertama:

Aèng lèmbung malang arèh

Nyampat poter di tèrmorrah

Orèng lebur ning sa’areh

Orèng nèsèr sa omorrah

Kedua:

Ku immah jhârâddhâh cèna

Korok pandhusana

Kuimmah jhâlânah tarèsnah

Torok kadhisana

3. Paparèghân

Paparèghâadalah puisi pendek yang menggunakan sampiran dengan menggunakan pola rima a-b-a-b. Tidak banyak contoh  paparèghân yang saya dapatkan. Biasanya saya dan teman-teman ber-paparèghèn sambil bermain bersama-sama. Tujuannya untuk menghibur diri saja. Berikut adalah salah satu contoh paparèghân yang sangat populer bagi kami (anak-anak) waktu itu:

Bhlerek klarè

Trèbung manyang

Bârâs marè 

Tèdhung nyaman

4. Pantun

Pantun adalah salah satu bentuk puisi lama. Terdiri dari bagian yaitu sampiran dan isi. Pola rimanya a-b-a-b. Seperti pantun pada umumnya, pantun Madura juga memiliki banyak jenisnya. Ada pantun nasehat, pantun lucu/humor, dan pantun agama. Ada satu pantun yang  juga sangat populer di kalangan anak-anak. Pantun ini ditujukan kepada seseorang yang suka merajuk. Berikut baitnya:

Ker-kerker ri-duriyen

Koddhuk massak sasèbek

Oreng soker libeliyen

Legghu. nyapah ka’adek

Madura sendiri memiliki banyak bentuk sastra lisan. Namun dalam tulisan ini saya batasi hanya kepada sastra lisan saja yang saya dapatkan dari ibu saya dan beberapa kejadian di masa kecil saya. Mengingat keterbatasan saya tentang ilmu sastra mohon disampaikan apabila terdapat kesalahan.

Satu pertanyaan sebelum saya menutup tulisan ini: Apakah saya akan melanjutkan sastra lisan-sastra lisan ini kepada generasi setelah saya terutama anak-anak saya nanti? Jawabannya tentu saja ia. Namun saya harus tetap memperhatikan perkembangan zaman. Sudah menjadi tugas saya untuk mencari cara yang lebih tepat dalam meneruskannya kepada generasi selanjutnya. Salah satunya dengan menuliskan cerita-cerita dongeng yang saya dapatkan dari ibu. Atau membuat bait-bait syi’ir yang lebih diminati oleh anak-anak muda sekarang.

Semoga sastra Madura terus lestari!

Bagikan

2 comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *