Orang Medan dan Orang Madura

Membedakan Orang Medan dan Orang Madura dari Jenis Usahanya

Orang Medan dan Orang Madura. Tinggal di Depok membuat saya mengenal banyak orang dari berbagai daerah. Saya jadi punya teman asal Padang, Lampung, Pemalang, Jember, Banten, Jogja, Cimahi, Bekasi, Bangka Belitung, Riau, Betawi, dan Medan. Lebih banyak dari ini sebenarnya, tapi saya tidak bisa menyebutkan semua lantaran tak semuanya saya ingat. Kadang ada yang asli dari daerah tersebut dan kadang ada yang hanya keturunan saja.

Orang dari berbagai daerah tersebut banyak yang masih membawa identitas kedaerahannya. Entah itu logat saat berkomunikasi, karakter diri, atau juga kebiasaan-kebiasaan setiap hari. Sehingga beberapa diantara mereka mudah diidentifikasi asalnya.

Selain hal-hal yang saya sebutkan di atas, ada satu hal lagi yang bisa digunakan untuk membedakan mereka, yaitu jenis usahanya. Penjual nasi Padang dan sate Padang kemungkinan berasal dari Padang. Penjual sate Madura, bebek Madura, dan bubur ayam Madura kemungkinan dari Madura. Penjual mie Aceh kemungkinan dari Aceh. Meski hal ini tidak selalu benar.

Di dekat saya tinggal dulu (sewaktu saya di Depok), ada warung soto. Tulisan di gerobaknya ‘Soto Madura’. Setelah saya masuk dan melakukan pemesanan, ternyata yang dijual soto Lamongan atau yang lebih dikenal dengan soto Surabaya. Terus penjualnya ternyata bukan orang Madura.

Pernah juga saya ikut Saudara. Saudara yang saya maksud bernama Izza. Kalau dari silsilah keluarga dia adalah keponakan saya meski kami seumuran. Sebab ibunya Izza adalah sepupu saya. Di Depok saya tinggal berdua dengannya.

Nah suatu hari, Izza dan saya hendak pergi ke Gunung Batu di Jonggol. Terus kami mampir ke rumah pamannya Izza, tepatnya kakak dari ayahnya Izza. Rumah pamannya Izza ada di daerah Cibubur. Ia menikah dengan orang yang kebetulan juga asli Jonggol.

Pamannya Izza memiliki sebuah usaha makanan, tapi bukan menjual sate, bebek goreng, atau bubur sebagaimana kebiasaan orang Madura lainnya. Pamannya Izza dan istrinya berjualan nasi Padang. Usut punya usut, ternyata istrinya pamannya Izza dulu pernah bekerja di warung nasi Padang.

Pada tulisan kali ini saya tidak akan berfokus membahas cara membedakan daerah asal orang-orang yang tinggal di Depok dari jenis usahanya secara keseluruhan. Saya belum melakukan riset (meski kecil-kecilan) secara mendalam. Nanti tulisan saya ngawur lagi. Jadi, kali ini saya hanya akan berfokus membedakan orang Medan dan Orang Madura saja.

Baca Juga: Pulang Kampung itu Seperti Beli Bensi.

Membedakan Orang Medan dan Orang Madura

Dari sekian banyak pendatang di Depok, orang Medan dan orang Madura adalah salah satu pendatang yang mudah dibedakan. Setidaknya menurut pengalaman dan pengamatan saya. Kenapa? Mereka punya logat kedaerahan yang begitu kental. Sehingga meski mereka berbicara dengan Bahasa Indonesia, logat mereka masih terbawa. Selain orang Madura dan orang Medan, orang Jawa Tengah seperti Pemalang dan sekitarnya juga mudah dibedakan. Logat ngapaknya begitu kentara saat berbicara. Meski lagi-lagi semua ini tidak berlaku secara keseluruhan.

Selama saya di Depok, banyak yang tidak menyangka kalau saya dari Madura. Yah itu karena logat saya tidak begitu kentara saat berbicara. Tapi bagi beberapa orang yang jeli, yang mungkin pendengarannya tajam, mereka akan tahu kalau saya dari Madura.

Pernah suatuh ari, ada rekan kerja baru di tempat saya mengajar. Saat itu kami berada di toilet sekolah dan sedang memperbaiki jilbab di cermin yang sama. Kami sambil mengobrol santai. Tiba-tiba dia bertanya, “Kak Luluk itu orang Madura ya?”

Jenis Usaha Orang Medan dan Orang Madura

Orang Madura dikenal sebagai penjual sate Madura, bubur ayam, dan bebek goreng. Selain itu orang Madura juga dikenal sebagai pengusaha besi tua, kusen, dan barang rongsokan. Tempat usaha mereka sangat mudah diketahui. Seringkali berada di tepi jalan raya. Bila ada rumah atau toko yang dipenuhi dengan tumpukan aneka besi dan aneka barang bekas sudah bisa dipastikan kalau itu orang Madura.

Kalau orang Medan banyak ditemui sebagai pedagang sayuran. Mereka memilki warung yang menyediakan aneka sayur dan kebutuhan dapur. Semuanya selalu hampir larimanis. Mungkin karena tidak banyak orang Depok yang pergi ke pasar. Selain jauh, mereka banyak yang bekerja. Jadi tidak punya cukup banyak waktu untuk ke pasar.

Lagi dan lagi, semua ini tidak berlaku secara keseluruhan. Selain orang Medan, ada juga orang Jawa (Jawa Tengah atau Jawa Timur) yang berjualan sayuran. Saya juga pernah menemui orang Betawi yang juga berjualan sayuran. Kalau penjual rongsokan atau barang bekas juga belum tentu orang Madura. Saya pernah menemui orang Jawa dan Orang Bandung yang juga berjualan rongsokan.

Toko Beras
Made by Canva

Toko Kelontong

Ada satu kesamaan antara orang Medan dan orang Madura berdasarkan jenis usahanya. Beberapa diantara mereka ternyata ada yang memiliki usaha toko kelontong. Meski begitu mereka tetap dapat dibedakan dengan mudah. Jika pemilik toko kelontongnya memakai sarung, sudah dipastikan dia orang Madura.

Selain dibedakan dari pakaian, ada satu lagi pembeda yang unik. Saya diberi tahu oleh Izza. Waktu itu kami dari luar (entah dari mana saya lupa). Kami hendak pulang ke kontrakan. Di tengah perjalanan, seperti biasa saya dan Izza suka mengobrol meski kami naik motor dan berboncengan. Izza mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya. Kurang lebih seperti ini:

“Mbak Luk, kamu tahu nggak bedanya warung (toko kelontong) milik orang Medan dan orang Madura?”

Saya diam sejenak, mencoba menangkap arah pembicaraan Izza.

“Tidak,” jawab saya kemudian.

“Kalau warungnya orang Medan biasanya tempat berasnya dari kayu atau triplek. Kalau tempat berasnya dari kaca biasanya orang Madura,” tutur Izza.

Saya kemudian melanjutkan penuturan Izza dengan pembuktian. Setiap kali saya pergi ke toko kelontong, entah itu untuk membeli kebutuhan pokok atau membeli bensin, diam-diam saya mengamati cara pemilik meletakkan beras.

Aha, dan Izza benar. Pemilik toko kelontong yang meletakkan beras dalam wadah yang terbut dari kayu atau triplek yang saya temui selalu berbicara dengan logat Medan atau logat Batak. Sementara pemilik toko kelontong yang meletakkan berasnya dalam wadah yang terbuat dari kaca (seperti etalase kaca) biasanya berbicara dengan logat Madura. Selain dari logat, saya juga sering menemui sang pemiliki memakai sarung. Seperti kebiasaan orang Madura padaumumnya.

Yap, itulah bedanya orang Medan dan orang Madura dari jenis usahanya. Tentu saja maksud saya adalah orang Medan dan Orang Madura yang merantau ke Depok. Entah itu berdomisili atau sudah resmi menjadi penduduk Kota Depok (berKTPDepok).

Sekarang saya sudah menetap di Madura lagi, jadi saya tidak bisa lagi melakukan riset kecil-kecilan saya. Yaitu membedakan toko kelontong orang Medan dan orang Depok. Jika suatu hari saya berkesempatan untuk mengunjungi Depok, rasanya saya akan kembali melakukan riset saya itu. Hehehe. Bismillah, semoga Allah memberikan kesempatan itu.

Bagikan

2 comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *