Merari Siregar. Namanya kukenal semenjak aku duduk di kelas 6 sekolah dasar. Kutemukan namanya tertulis di sampul novel berjudul ‘Azab dan Sengsara’. Novel pertamanya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920.
Melalui novel karyanya, aku bertemu dengan dua sosok rekaan bernama Aminuddin dan Mariamin. Tokoh utama pada novel ‘Azab dan Sengsara’. Ia berhasil membuatku selalu mengingat Aminuddin dan Mariamin sampai saat ini.
Novel ‘Azab dan Sengsara’ memang tidak ditujukan pada anak berumur 11 atau 12 tahun. Tapi sebagai siswa yang gemar membaca, sementata belum ada fasilitas memadai, maka kubaca saja semua buku yang kutemukan. Termasuk novel ‘Azab dan Sengsara’ milik kakak pertamaku.
Konflik pada novel ‘Azab dan Sengsara’ memang tak benar-benar kupahami secara utuh. Namun, setiap rangkaian kata yang dituliskan oleh Merari Siregar dapat membuatku paham, bagaimana perasaan Aminuddin dan Mariamin yang sama-sama patah hati. Dan aku pun ikut patah hati.
Tak melulu soal patah hatinya Aminuddin dan Mariamin. Soal-soal lainnya terkait novel ‘Azab dan Sengsara’ juga Merari Siregar banyak yang kuingat. Aku akan mencoba menuliskannya.
Novel Bergambar
Pada setiap babnya, novel ‘Azab dan Sengsara’ dilengkapi gambar ilustrasi. Bentuknya berupa gambar hitam putih yang cukup detail. Gambar yang paling kuingat adalah gambar Rumah Bolon, rumah tradisional Suku Batak. Berupa rumah panggung dengan bentuk atap yang unik.
Mariamin
Pada sampul novel ‘Azab dan Sengsara’ terdapat gambar seorang wanita dengan rambut digelung. Anting yang sederhana menggantung di kedua daun telinganya. Ia mengenakan baju putih dan selendang panjang menghiasi kedua bahunya. Kutebak, selendang itu adalah kain tenun ulos khas Tapanuli Selatan. Ah, lihatlah gambar Mariamin, sungguh aku iri pada kecantikannya.
Aku sampai menuliskan resensi novel ‘Azab dan Sengsara’ dari sisi Mariamin.
Aku Ingin Pergi ke Sipirok
Pada Novel ‘Azab dan Sengsara’, Aminuddin dan Mariamin diceritakan berasal dari Sipirok, Tapanuli Selatan. Tempat kelahiran dari sang penulis juga. Waktu membaca novel ‘Azab dan Sengsara’ untuk pertamakalinya, kupahami bahwa Sipirok adalah tempat yang begitu jauh dari Madura. Dan aku sangat ingin pergi ke sana. Sayangnya, sampai sekarang keinginan itu belum terwujud.
Merari Siregar
Gara-gara Novel Azab dan Sengsara, setiap bertemu dengan orang Medan aku begitu antusias. Kepada teman yang asli Medan, aku pasti akan bertanya soal Sipirok dan Tapanuli Selatan. Sebisa mungkin aku juga akan bercerita tentang Merari Siregar.
Aku sempat juga menuliskan resensi novel ‘Azab dan Sengsara’ dari sisi Aminuddin. Dari situlah aku mengetahui bahwa Merari Siregar ternyata menghabiskan sisa hidupnya di Madura, tepatnya di Kalianget Sumenep. Makin-makinlah aku merasa memiliki ikatan dengan Merari Siregar.
Di Kalianget, Merari Siregar bekerja di Opium end Zouregie (Badan Manajemen Garam dan Opium). Ia meninggal pada 23 April 1941. Mengetahui fakta ini, aku benar-benar senang. Aku merasa semakin dekat denganya. Tapi di sisi lain, aku merasa patah hati. Kenapa aku baru tahu tentang semua ini? Kira-kira dimana ia dimakamkan? Apakah juga di Madura? Aku ingin mengunjunginya jika iya.
Patah Hati Lagi
Sebelum menuliskan artikel ini, aku kembali mencari tahu tentang Biografi Merari Siregar. Agak sulit, karena tak banyak yang membahas tentangnya dengan lengkap. Dan aku kembali menemukan fakta yamg sangat mengejutkanku. Dari dulu sampai malam ini (01/08/2020), aku mengira bahwa Merari Siregar adalah seorang perempuan. Tapi ternyata dia adalah laki-laki.
Bukankah aku sempat mencari tahu tentang Merari Siregar sebelumnya? Ia, tapi aku hanya sebatas membaca info di wikipedia. Sementara di wikipedia tak terdapat gambar dari Merari Siregar dan aku tak mencari tahu lebih lanjut lagi .
Ah, aku sudah terlanjur merasa punya ikatan dengannya. Tapi setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, aku baru tahu kalau orang yang membuatku mengerti tentang apa itu patah hati adalah seorang laki-laki. Bodohnya aku.