Perempuan Paling Terluka. Mariamin telah meneguhkan hatinya. Ia akan menunggu Aminuddin, kekasihnya yang sedang bekerja di Deli, Medan. Ia tahu Aminuddin adalah pemuda yang baik budi pekertinya. Tak akan mungkin Aminuddin mengingkari janji yang telah dibuatnya. Maka ditolaklah semua pinangan yang datang padanya.
Penantian Mariamin tiada sia-sia. Akhirnya datanglah surat dari Aminuddin. Memintanya untuk mulai bersiap-siap. Sebab Ayah Aminuddin akan segera menjemput Mariamin dan akan mengantarkannya ke Deli. Senang hati Mariamin tiada terkira. Aminuddin benar-benar memenuhi janjinya.
Hari terus berlalu. Tapi yang ditunggu tiada kunjung datang. Ayah Aminuddin belum juga menjemput Mariamin.
Cinta Kandas di Tengah Jalan
Sebuah surat datang. Surat dari Aminuddin yang berisikan permohonan maaf karena Aminuddin tak dapat memenuhi janjinya. Ayah Aminuddin telah menikahkan Aminuddin dengan perempuan lain. Tak dapatlah Aminuddin menolak sebab tak patut anak durhaka kepada orang tuanya.
Belum habis Mariamin membaca surat dari Aminuddin. Pucatlah wajahnyanya, peluhnya mengalir ke seluruh badan, dan tiada suatu apapun yang dapat dilihatnya. Surat Aminuddin amat menyesakkan dadanya. Jika tiada ibunya menangkap tubuhnya, sudah barang tentu tubuh Mariamin jatuh terbalik.
“Bukankah bunda sudah berkata, kita orang yang hina? Anakku bercintakan orang yang kaya juga. Beginilah kesudahannya.”
Nasib di Kandung Badan
Cintanya kepada Aminuddin telah kandas. Meski begitu Mariamin telah memaafkan Aminuddin. Tak perlulah ia menyesali apa yang sudah terjadi.
Atas permintaan ibunya, menikahlah Mariamin dengan lelaki dari Medan yang bekerja sebagai kerani. Meski Mariamin telah berfirasat bahwa lelaki itu tak baik, tapi apa mau dikata. Tak hendak ia mengecewakan ibunya.
Benar adanya. Suami Mariamin adalah seorang yang pesakitan karena suka bermain perempuan. Ia sangat kejam dan perilakunya begitu buruk. Tak segan ia memukul dan menyiksa Mariamin yang dianggap tak mau menurut keinginannya.
Perempuan Paling Terluka
Pada suatu siang, Mariamin dibiarkan tinggal di rumah tanpa uang sepeserpun oleh sang Suami. Ia hanya bisa berdiam diri sambil menahan lapar dan sakit di sekujur tubuhnya. Pada saat itu seseorang datang bertamu ke rumahnya.
Luka yang lama Mariamin pendam tergores kembali. Tamu yang datang ke rumahnya adalah Aminuddin. Tak kuat Mariamin menanggung luka yang tak berkesudahan. Kembali Ia tak sadarkan diri ketika Aminuddin telah berdiri di hadapannya.
Kedua kekasih yang terpisah itu saling menangis tersedu. Mengenang perih sebab cinta yang tak dapat bersatu. Tapi apalah boleh dibuat, Tuhan sepertinya memang tak berkehendak mereka bersama.
Pukul setengah dua belas pulanglah Aminuddin meninggalkan rumah itu, meninggalkan Mariamin. Matanya basah oleh air mata, sebab sedihnya mengenangkan perceraian mereka itu, perceraian yang akhir sekali di atas bumi ini, karena sejak itu tak pernah lagi mereka itu bertentangan muka.
Mariamin yang Berparas Cantik
Maafkan saya Mariam. Sebab baru sekarang saya dapat benar-benar merasakan apa yang kamu rasakan. Luka dan sengsara yang tiada berkesudahan sungguh berat ditanggung hati.
Aminuddin dan Mariamin, kisah mereka saya baca dari novel Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar. Jika dilihat dari tahun terbitnya –1920–, kisah cinta Aminuddin dan Mariamin berlatar masa penjajahan Belanda.
Secara pribadi saya sangat kagum kepada Merari Siregar. Sebab di masa yang seperti itu, Novel Azab dan Sengsara ia tulis untuk mengkritisi masyarakat –khususnya masyarakat Sipirok, Medan, kota kelahirannya– yang masih mempercayai dukun. Serta masih membedakan manusia berdasarkan si kaya dan si miskin.
Demikianlah tulisan dari saya, seseorang yang pernah bermimpi memiliki paras secantik Mariamin. Baca juga kisah Aminuddin, lelaki paling patah hati.
[…] Demikianlah tulisan ini saya akhiri. Baca juga suara hati Mariamian, Perempuan Paling Terluka. […]
[…] Aku sampai menuliskan resensi novel ‘Azab dan Sengsara’ dari sisi Mariamin. […]