Cerpen Fabel Anak

Gajah Leli di Hutan Api

Cerpen Fabel Anak. Namaku Leli, aku gajah kecil berumur lima tahun. Gajah yang sudah berumur lima tahun biasanya akan sangat senang bermain di padang rumput dan berenang di sungai. Sebab belalainya sudah bisa digunakan untuk makan, minum dan mandi. Bagi gajah, belalai sama halnya seperti tangan manusia. Dapat digunakan untuk melakukan banyak pekerjaan.

Tapi aku tidak seperti gajah yang berumur lima tahun lainnya. Yang bisa melakukan semuanya sendiri. Ibu masih menyuapiku saat makan dan minum. Ia juga masih harus memandikanku setiap hari. Belalaiku lumpuh, ia tidak bisa digerakkan.

Belalaiku yang lumpuh menjadikanku sebagai anak gajah yang pemalu dan penakut. Aku tidak punya banyak teman dan aku juga jarang bermain. Aku takut diejek dan ditertawakan sebab tidak bisa berenang.

 “Leli, ayo ikut bermain bersama kami,” ajak Susi dan Desi.

Susi dan Desi kembar, anak gajah yang seumuran denganku. Mereka selalu mengajakku bermain. Tapi aku tidak pernah menerima ajakan mereka. Aku pasti hanya akan menjadi penonton saja. Setelah berenang dan kelaparan, semua anak gajah akan mengambil daun dari pohon-pohon yang masih pendek. Sementara aku, siapa yang akan menyuapiku nanti?

“Leli, sekali-kali ikutlah bermain bersama Desi dan Susi. Mereka pasti akan menjagamu,” ibu membelai kepalaku dengan belalainya.

Seperi biasa aku hanya menggeleng. Aku belum berani pergi bermain. Desi dan Susi ikut memaksaku. Mereka terus berusaha membujukku seperti ibu.

Jika itu terjadi, aku cukup pergi meninggalkan Ibu, Desi dan Susi. Menuju pohon besar yang rindung. Lalu duduk termenung sendiri.

“Maafkan aku,” hanya itu yang bisa aku ucapkan dalam hati. Sedih rasanya harus mengecewakan orang-orang yang sangat kita sayangi.

Jika aku sudah berdiam diri di bawah pohon, Susi dan Desi sudah mengerti. Mereka akan segera pergi dan tidak lagi membujukku untuk ikut bermain dengan mereka.

Aku menatap langkah kaki Susi dan Desi dengan penuh penyesalan. Mereka adalah teman yang baik. Meskipun aku tidak pernah mendengarkan perkataan mereka, tapi setiap hari mereka selalu datang untuk mengajakku bermain.

Ibu menghampiriku, ia memelukku dengan belalainya. Terkadang aku sedih dan seringkali mengeluh. Mengapa belalaiku harus lumpuh? Tapi pelukan ibu selalu mampu membuatku melupakan keluhan itu. Ibuku adalah gajah yang sangat kuat dan baik. Ia tidak pernah mengeluh ataupun marah meski setiap hari harus menyuapiku dan memandikanku.

“Leli, apa kau masih ingat perkataan ayahmu?” bisik ibu di telingaku.

Aku menggeleng dalam pelukannya. Ibu mengangkat wajahku dengan belalainya.

“Leli, kau bisa sembuh nak. Kamu pasti bisa sembuh. Tapi kamu juga harus berusaha. Maukah kamu melatih belalaimu untuk bergerak?” ibu

 menatapku penuh harap.

Aku diam saja. “Bukan aku tidak mau ibu. Aku sudah melakukannya. Tapi tidak berhasil sampai saat ini,” gumamku dalam hati.

Ibu mengusap kepalaku dengan belalainya. Hal yang seringkali dia lakukan di saat menasehatiku.

“Ibu tahu kamu sudah berusaha, maksud ibu, kamu tidak boleh berhenti mencoba,” lanjut ibu, ia seperti mengetahui apa yang aku rasakan.

Aku mengangguk, tidak berani menolak permintaan ibu. Aku sudah cukup menyusahkannya selama ini. Aku tidak ingin ibu semakin bersedih karena aku tidak mau menuruti permintaanya.

“Baiklah bu, Leli janji. Leli akan terus berusaha lebih keras lagi,” ucapku berjanji pada ibu.

Ibu tersenyum bahagia. Ia kembali memelukku. Kali ini lebih erat. Dalam hati aku bertekad, aku akan berusaha lebih keras lagi. Besok aku akan ikut bermain ke padang rumput dan sungai bersama Susi dan Desi.

Saat matahari terbit aku segera bangun. Aku Meminta pada ibu untuk memandikanku di sungai yang airnya masih sangat dingin. Ah tubuhku langsung terasa segar. Setelah makan aku langsung berpamitan untuk pergi ke rumah Desi dan Susi. Aku mau memberi kejutan kepada mereka.

Susi dan Desi hanya tinggal dengan ibunya saja. Sebab ayahnya telah meninggal setahun yang lalu. Terkena jebakan manusia yang memburu gading gajah secara ilegal. Desi dan Susi tinggal di bawah pohon rindang tidak jauh dari tempatku tinggal. Aku pernah bersama ibu mengunjungi mereka sekali.

Aku berjalan penuh dengan semangat. Bernyanyi-nyanyi kecil menjawab beberapa kicauan burung yang mulai berterbangan. Hutan terasa sangat indah, sinar matahari menyelimuti hutan dengan penuh kehangatan.

Sebentar lagi aku akan sampai di rumah Desi dan Susi. Tapi aku menghentikan langkahku. Ada hawa panas menjalar di sekujur kulit tubuhku. Ku tatap langit dari sela-sela dedauanan. Hari masih pagi, sinar matahari juga masih teduh. Aku memutar pandangan ke seluruh area hutan. Tiba-tiba, ada sesuatu yang mendekat dengan cepat dari arah rumah Desi dan Susi. Api, api merah yang berkobar-kobar.

Aku segera berbalik memutar arah untuk kembali pulang.  “Ibu… ibu.. ibu….” teriakku ketakutan.

Aku berlari sekuat tenaga. Api besar terus mengejarku dari arah belakang. Kakiku terasa sakit karena tidak terbiasa lari cepat dan jauh.   

“Leli…” panggil ibu saat melihatku datang dengan ketakutan.

“Ibu ada api,” tuturku dengan nafas terengah-engah.

Ibu memelukku, ia segera membangunkan ayah. Ia meminta ayah untuk memberi tahu gajah-gajah yang lain jika hutan kembali terbakar. Ya, ini bukan kebakaran yang pertama kalinya. Kami para gajah terpaksa sering bepindah tempat karena hutan selalu mengalami kebakaran setiap tahunnya. Manusia juga sering menangkap kami untuk diambil gadingnya. Sehingaa jumlah kami semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Ayah segera berteriak dan berlarian membangunkan gajah-gajah lain yang masih tertidur.

“Cepat bangun! Ada kebakaran, ada kebakaran,”a berlari dengan sigap dari satu tempat ke tempat yang lain.

“Cepat menyeberang sungai! kita harus pergi ke dalam bagian hutan yang lebih dalam,” ayah memberi komando.

Ayah segera mengangkat kakinya. Ia menjulurkan belalainya ke arah langit. Kemudian ia berteriak sekencang-kencangnya. Kata ibu ayah sedang memberikan tanda kepada gajah-gajah yang lain jika sedang ada bahaya. Setelah memberi tanda, ayah segera mengajakku dan ibu berlari menuju sungai. Gajah-gajah yang lain pun mengikuti.

Bagaimana dengan Desi dan Susi? Api yang merah tadi datang dari arah rumah mereka. Berkali-kali aku berlari sambil menoleh ke belakang, membuatku beberapa kali tersandung akar pohon dan terjatuh.

“Leli ayo cepat bangun!” ibu membantuku berdiri.

“Ibu bagaimana dengan Desi dan Susi? Api itu datang dari rumah mereka,” tuturku dengan penuh kecemasan.

Ibu terdiam sejenak, tidak tahu apa yang harus diperbuat. Aku melihat pertanda buruk dari wajahnya. Ibu memelukku dan mencium keningku.

“Tenanglah, ayahmu dan ayah-ayah gajah yang lain akan berusaha mematikan api. Semoga mereka bisa menemukan mereka. Sekarang kita harus pergi menyeberangi sungai terlebih dahulu,” ucap ibu kemudian.

Ayah dan gajah dewasa yang lain masih berusaha memadamkan api dengan air hujan yang terjebak di rawa-rawa kecil. Namun percuma, air-air itu tidak cukup mampu memadamkan api yang begitu besar. Kami para gajah terdesak, hanya ada satu pilihan, terus berlari lebih cepat. Jika tidak, maka api yang akan menghabiskan kami.

“Berlari lebih cepat!” peritah Ayah.

Semua gajah mengikuti instruksi ayah. Gajah kecil dan gajah perempuan dewasa dibiarkan berlari di bagian depan. Sementara gajah dewasa pria mengikuti dari belakang.

Aku terus berlari di samping ibu. Tapi pikiranku masih tertuju pada Desi dan Susi. Diam-diam aku masih menoleh kembali. Aku tidak mendengarkan meski berkali-kali ibu memperingatiku.

“Ibu….” teriakku. Kakiku tersangkut pada akar pohon yang besar membuat tubuhku terpelanting jauh. Aku merasa tubuhku terbang. Aku terjatuh ke sebuah jurang kecil yang tertutupi oleh daun-daun kering yang berjatuhan. Kakiku mencoba meraih apa saja yang bisa diraih.

“Leli…” terdengar suara teriakan ibu. Ia segera menghapiri tepi jurang. Ia menyingkirkan semua daun kering dengan belalainya. Ia dapat bernafas lega setelah melihatku memeluk akar pohon yang menyembul di dinding jurang dengan keempat kakiku.

Ibu segera memeluk akar pohon yang tumbuh di atas tanah. Ia menjulurkan belalainya ke dalam jurang. Namun belalainya tidak dapat menjangkauku.

“Leli, cepat julurkan belalaimu pada belalai ibu!” Perintah ibu.

Aku mencoba menggerakkan belalaiku namun belalaiku tidak mau bergerak sama sekali.

“Leli, coba sekali lagi!” ibu tidak berputus asa.

Aku kembali mencoba tapi masih sama. “Tidak bisa ibu,” aku mulai menangis. Pegangan kakikupun semakin lemah.

“Leli, kamu pasti bisa. Pejamkan matamu, tarik nafas, katakan dalam hatimu kalau kamu pasti bisa. Aku akan membantu ibumu,” ayah berteriak. Ia segera berlari menyusul ibu saat melihatku jatu terpelanting ke dalam jurang.

Aku mendongakkan kepalaku ke atas. Ku lihat wajah ayah yang penuh keyakinan.

“Ayo Leli kamu pasti bisa,” teriaknya lagi. Wajah ayah lalu menghilang.

Ayah menghampiri ibu. Belalainya memegang kaki belakang ibu. Ibu menjulurkan belalainya lebih dalam, separuh bagian tubuhnya masuk ke dalam jurang.

Baiklah, baiklah. Aku pasti bisa. Ku pejamkan mataku, lalu ku tarik nafas dalam-dalam. “Leli kamu pasti bisa,” bisikku.

Hap, sebuah keajaiban terjadi. Belalaiku berhasil meraih belalai ibu.

“Ayah cepat tarik!” ibu memberi perintah pada ayah.

Ayah menuruti. Ia segera menarik kaki ibu dengan sekuat tenaga. Kulepaskan pegangan kakiku dari akar pohon yang ku peluk. Perlahan kurasakan tubuhku mulai terangkat ke atas.

Ibu langsung memelukku saat aku sudah berhasil keluar dari dalam jurang. Ia  menciumi wajahku berkali-kali. Ia berhasil menyelamatakan anaknya. Namun yang lebih membuatnya terharu adalah karena aku mampu menggerakkan belalaiku. Ayah meminta kami untuk bergegas, kembali berlari dari kobaran api.

Semua gajah berhasil menyeberangi sungai. Termasuk aku, ibu, dan ayahku. Para gajang bersama-sama menyemprotkan air sungai dengan belalai ke arah datangnya api. Aku pun ikut membantu. Meski tidak bisa melakukannya secepat yang lain.

Api mulai padam, sedih rasanya melihat pohon-pohon di seberang sungai berubah menjadi arang hitam dan daun-daunnya menjadi abu. Saat api benar-benar padam semua gajah kembali berjalan. Yah, kami harus pergi menjauh. Kami harus menuju bagian hutan yang lebih dalam lagi. Agar kami jauh dari jangkauan manusia. Sebab, kebakaran ini bisa jadi terulang kembali kapan saja.

Kami para gajah menemukan sebuah tempat yang lebih baik di tengah hutan. Kami hidup dengan harapan hutan tempat kami hidup tidak semakin habis. Aku pun juga senang sebab aku bertemu dengan Desi dan Susi. Mereka ternyata selamat. Di tempat baru ini aku mulai berani bermain bersama dengan anak gajah yang lain. Mereka bahkan membantuku untuk melatih belalaiku. Harapanku, semoga kehidupan para gajah ke depan semakin membaik. Tidak ada lagi yang memburu kami, tidak ada lagi yang membakar rumah kami.  

Baca juga fabel anak: Piko, Kelinci yang Pemberani

Bagikan

One comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *