Madura Love Story
Ibu
Ibu menyeduh dua cangkir kopi di atas meja dapur. Satu untuknya, satu untuk bapak.
“Bilang bapakmu, kopinya sudah siap,” perintah ibu.
Aku segera beranjak dari kursi panjang yang alasnya terbuat dari bambu yang terletak di salah satu sisi dinding dapur.
“Bilang juga, cepat selesaikan ranjinya (lemari untuk menyimpan makanan). Sudah tiga hari kok belum selesai juga,” tambahnya sebelum aku benar-benar meninggalkan dapur.
“Pak kopinya sudah jadi, mau dibawa kesini apa mau di taruh di dapur saja?” tanyaku pada bapak yang sedang memotong bambu dengan gergaji. Di dekatnya berdiri rangka ranji setinggi dadaku.
“Taruh di dapur saja,” jawabnya sambil terus bekerja.
Aku segera kembali ke dapur melanjutkan pekerjaanku menyiangi daun bayam. Pesan ibu untuk bapak agar segera menyelesaikan pembuatan ranji sengaja tak kusampaikan. Toh mau didesak atau tidak tetap saja ranji itu tidak akan cepat selesai. Keahlian pertukangan bapak bisa dibilang kurang. Tapi dengan alasan biaya ibu sering meminta bapak membuat peralatan rumah tangga sendiri.
“Ini kurang kokoh rangkanya. Disenggol kucing sedikit juga sudah roboh,” tutur ibu dengan suara khasnya yang cempreng.
Aku menoleh ke arah tungku, ibu sudah tidak ada. Aku tidak tahu kapan ia keluar dari dapur. Tiba-tiba saja sudah berada di halaman di mana bapak bekerja.
“Ia, itukan belum selesai,” bapak menjawab pendek.
Ibu terus berbicara mengomentari pekerjaan bapak yang menurutnya kurang sempurna. Bapak hanya sesekali menjawab iya dan iya.
Ibu kembali ke dapur dengan kayu bakar di pangkuannya. Diletakkannya kayu-kayu itu di dekat tungku. Beberapa diambilnya dan dimasukkan ke lubang tungku. Api dalam tungku pun semakin besar.
Baca juga cerpen kenangan: Antara Aku, Ibu, dan Yu Cendol
Bayam-bayam yang sudah kusiangi segera kucuci lalu kuletakkan di atas meja di dekat kopi ibu dan bapak. Pekerjaanku selanjutnya membuat bumbu untuk sayur bayam. Tiga siung bawang putih, merica, garam, dan temukunci dihaluskan menjadi satu. Resep ini merupakan resep sayur bening di kampungku.
Aku membawa bumbu sayur bayam yang sudah dihaluskan di atas cobek. Hendak memasukkannya ke dalam panci yang airnya sudah mendidih. Ibu yang duduk di depan tungku membantuku mengangkatkan tutup panci. Namun melihat jumlah air dalam panci aku mengurungkan niat untuk memasukkan bumbu.
“Bu, airnya banyak banget sih,” ujarku.
“Kamu ini bagaimana, bapakmu itu sudah tua. Kalau makan perlu banyak kuah untuk membantunya menelan makanan. Dia sering cegukan kalau makan tanpa kuah yang banyak. Tenggorokannya tidak lagi mudah menelan makanan.”
Aku hanya menganggauk untuk menimpali perkataan ibu.
Bapak
“Ibumu mana? Dari tadi kok suaranya tidak kedengaran?” tanya bapak. Wajahnya sedikit gusar. Berkali-kali ia keluar masuk dapur hanya untuk menanyakan hal yang sama.
“Mau salat duha katanya,” jawabku untuk kesekian kalinya.
“Tapi di langgar (musala) tidak ada ibumu.”
“Salat di rumah mungkin.”
Bapak memandang rumah dari pintu dapur yang terbuka.
Begitulah pemukiman masyarakat Madura pedesaan. Dapur, musala, kamar mandi, dan rumah semuanya terpisah. Musala dan rumah selalu dapat dipastikan letaknya. Selalu berada di ujung paling barat. Rumah berada di sisi utara dan bangunannya selalu menghadap selatan. Dapur dan kamar mandi adalah bangunan yang letaknya fleksibel. Dapur bisa berhadapan dengan rumah atau malah dibangun di samping rumah. Begitu juga dengan kamar mandi. Letaknya bisa di belakang rumah, di samping rumah, atau berhadapan dengan musala.
Bapak keluar dari dapur menuju rumah. Didapatinya ibu sedang tertidur dengan mukena di atas pembaringan. Cepat ia kembali ke dapur.
“Ibumu sedang tidur. Biarkan saja, jangan bangunkan dia. Kamu selesaikan semua pekerjaan dapur. Sepertinya dia kelelahan,” ucap ayah. Gusar di wajahnya belum hilang.
“Ya,” jawabku.
“Buatkan bapak kopi dulu,” pinta bapak.
“Yah, aku tidak tahu bagaimana meraciknya. Hanya ibu yang tahu bagaimana meracik kopi kesukaan bapak.”
Bapak diam sebentar. “Ya sudah buatkan saja sebisamu.”
Aku mengangguk lalu beranjak dari depan tungku untuk mengambil panci. Bapak kembali ke halaman rumah untuk menyelesaikan pembuatan ranji.
***
Hujan deras disertai petir mengguyur kampung kami. Aku segera menarik selimut untuk menghalau dingin yang terus menjalar sampai ke bagian tulang. Baru saja aku merapatkan tubuhku ke guling, bapak tiba-tiba mengguncang-guncang bahuku.
“Ibumu sakit, tubuhnya menggigil kedinginan. Wajahnya pucat dan bibirnya membiru. Bapak harus ke rumah bu bidan,” tutur bapak setelah aku bangun.
“Tapi hujannya deras pak. Bu bidan belum tentu juga mau ke sini. Sudah tengah malam juga.”
“Tapi kasihan ibumu, kalau tidak diobati ia bisa menggigil sampai pagi.”
“Kalau bu bidannya tidak ada bagaimana?” aku masih ragu dengan rencana bapak.
“InsyaAllah ada,” jawab bapak dengan yakin.
Terpaksa aku menyetujui rencana bapak. Aku lalu mengatarnya sampai pintu rumah. Dengan payung di tangannya bapak menerobos gelap dan hujan. Melalui cahaya petir yang menyambar sekali-kali, aku terus memandang tubuh bapak yang berjalan kedinginan. Saat ia tak lagi terlihat aku segera menyusul ibu ke biliknya.
Di kampungku bu bidan tidak lagi hanya membantu orang-orang melahirkan. Ia sekaligus harus menjadi mantri atau dokter bagi warga yang sakit dan butuh pertolongan cepat.
Bapak kembali dengan pakain setengah basah. Payung tak cukup mampu melindunginya dari guyuran hujan yang sangat deras. Ia kembali sendirian, tidak ada bu bidan yang menyertainya. Bu bidan sedang pulang ke rumahnya yang di kota. Anaknya juga sedang sakit. Begitu kata bapak.
“Kamu jaga ibumu, bapak mau masak air dulu. Kita harus mengompresnya.”
Tanpa menunggu jawabanku bapak kembali menerobos hujan. Ia menuju dapur dan segera memasak air. Sekitar tiga puluh menit kemudian ia kembali dengan baskom berisi air panas. Aku segera mengambil handuk kecil berwarna putih dari lemari dan menyerahkannya pada bapak. Perlahan bapak mulai mengompres ibu.
Ibu terus menggigil kedinginan. Bibirnya semakin membiru. Nafasnya semakin lama semakin berat. Aku dan bapak yang duduk di tepi pembaringan semakin cemas. Sampai air kompresan dingin panas tubuh ibu tak juga menurun malah semakin tinggi. Aku menatap wajah bapak yang mulai putus asa. Ia hampir menangis lantaran tak tega melihat tubuh ibu yang semakin melemah.
Aku
Ranji bapak sudah jadi. Rangkanya dari kayu. Dindingnya dari bambu. Ukuran panjang dan lebarnya hanya satu meter kali setengah meter saja. Tingginya sejajar dengan dada orang dewasa. Sementara tinggi kakinya setengah lutut orang dewasa.
Ibu menatap ranji bapak dengan rasa tidak puas. Dilihatnya rangka ranji yang tidak simetris dan sedikit miring. Digoyangkannya ke kiri dan ke kanan. Ranji pun berderit pelan, kakinya sedikit bergoyang.
“Perbaiki dulu, masak digoyang sedikit saja sudah mau roboh. Pintunya juga kurang kuat. Nanti mudah dibuka kucing. Mau makan tanpa lauk?” Omel ibu.
Ayah menatap ranji buatannya dengan seksama. Ia mencoba mencari cara bagaimana cara memperbaikinya agar sesuai dengan permintaan ibu. Aku sendiri hanya berdiri diam. Mataku bergantian menatap wajah bapak, wajah ibu, dan ranji yang malang.
“Cepat selesaikan! Ranji kita yang lama sudah keropos,” perintah ibu sekali lagi. Ia lalu masuk ke dapur.
Bapak menoleh padaku dan melempar senyum. “Kalau ibumu mengomel dengarkan saja. Dia memang begitu. Tapi ibumu itu hatinya baik. Paling-paling dia mengomel hanya di mulut saja.”
“Dan lebih baik ibumu itu mengomel saja. Kalau tidak bapak malah khawatir. Jika seharian tidak terdengar suaranya itu artinya ibumu sakit.”
Aku langsung menyeringai mendengar penuturan bapak. Lalu dari dapur terdengar teriakan ibu memanggilku.
“Is!”
“Bilang bapakmu, kopinya sudah jadi!”
Aku kembali menyeringai. Ah mereka berdua ini….
[…] Baca juga cerpen keluarga: Madura Love Story […]