Dongeng Anak Madura. Lamben Sare adalah seorang anak laki-laki berumur 12 tahun. Ia memiliki sepasang sayap di punggungnya. Sayap yang berwarna keemasan, berkilau indah saat diterpa sinar matahari. Sayap itu bisa nampak dan hilang kapan saja Lamben Sare menginginkannya.
“Sayap, keluarlah,” ucap Lamben Sare. Seketika, keluarlah sayap lamben sare. Lamben sare mulai mengepakkan sayapnya. Dan sayap itu pun bergerak seperti sayap kupu-kupu.
Lamben Sare terus mengepakkan sayapnya. Perlahan Lamben Sarepun mulai terbang. Sayap Lamben Sare terus bergerak, semakin lama semakin cepat.
“Yeeeeee, terbang lebih cepat!” ucap Lamben Sare. Tubuhnya melesat di udara, mengalahkan kecepatan burung-burung yang juga sedang terbang di udara.
Lamben Sare tersenyum girang. Angin menerpa wajahnya dengan lembut. Lamben Sare terbang ke sana ke mari, mengitari gunung, melintasi awan-awan putih, menyeberangi lautan yang nampak biru. Tapi yang paling Lamben Sare suka adalah terbang rendah di atas aliran sungai yang sangat jernih. Lamben Sare menyukai suara gemericik air sungai dan ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Begitulah kegiatan Lamben Sare setiap harinya, bermain-main dan bersenang-senang.
Lamben Sare tinggal dengan ibunya, ayahnya meninggal saat Lamben Sari berumur satu tahun. Setiap pagi ibu Lamben Sare akan membuat sarapan untuk Lamben Sare. Lamben Sare selalu pergi bermain setelag sarapan. Saat Lamben Sare sudah pergi, barulah ia pergi bekerja ke ladang. Ia akan kembali sebelum sore datang, sebab ia harus menyiapkan makan malam untuk Lamben Sare.
Ibu Lamben Sare sangat menyayangi Lamben Sare. Ia yang menyiapkan semua kebutuhan Lamben Sare. Mulai dari mencuci baju, memasak, juga pergi ke ladang sendirian.
Lamben Sare selalu pulang saat matahari sudah tenggelam. Sesampainya di rumah ia segera mandi, berganti pakaian, makan malam lalu tidur. Agar keesokan harinya ia tidak terlambat bangun.
Di suatu pagi, Lamben Sare kembali terbang di udara. Tidak seperti biasanya, ia tiba-tiba merasa bosan. Ia sudah melihat semua tempat, terbang di udara, mengitari gunung, melintasi lautan, sawah, juga sungai. Lamben Sare memelankan gerakan sayapnya, ia lalu terbang perlahan menuju hutan. Ia ingin duduk di bebatuan besar di tepi sungai. Ia sangat ingin menyendiri.
Mata Lamben Sare terbelalak seketika. Berkali-kali ia mengusap kedua matanya. Tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Tepat di tengah hutan, tumbuh sebuah pohon raksasa, batangnya besar dan tinggi menjulang tinggi ke langit. Mata Lamben Sare tidak dapat menjangkau di mana ujung pohon tersebut berhenti.
Lamben Sare urung pergi ke tepi sungai. Ia kembali mengepakkan sayapnya dengan cepat mendekati pohon .
“Pohon apa ini? Kenapa aku baru melihatnya? Bukankah setiap hari aku selalu terbang di atas hutan ini?” tanya Lamben Sare dalam hati pada dirinya sendiri. Ia lalu hinggap di salah satu dahan pohon raksasa tersebut.
Batang pohon ini begitu besar, kedua tangan Lamben Sare tidak cukup untuk memeluknya. Batangnya berwarna cokelat dan sangat halus. Daun-daunya begitu lebar, berbentuk bulat telur. Dahan-dahannyapun berselang seling dengan indah.
Lamben Sare begitu penasaran, Ia terbang dari satu dahan ke dahan yang lainnya. Hendak mencari ujung dari pohon raksasa tersebut. Lamben Sare berharap, pohon ini akan mengantarkannya ke Kayangan. Dimana katanya, Kayangan adalah tempat yang Indah dan dipenuhi oleh bidadari-bidadari yang cantik. Akan lebih menyenangkan jika Ia bisa hidup di sana, daripada hidup di gubuk tua bersama ibunya yang miskin.
Tapi Lamben Sare tidak menemui apa-apa. Ia hanya terus terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Semakin ia terbang, ujung pohon itu terasa semakin jauh. Lamben Sare memutuskan untuk pulang, matahari sudah mulai tenggelam. Tubuhnya pun merasa sangat lelah.
Lamben Sare sudah memutuskan untuk kembali ke hutan. Ia akan mencari ujung pohon raksasa. Ia tidak akan pulang sebelum keinginannya tercapai.
“Ibu, Aku pamit. Mungkin beberapa hari ini aku tidak akan pulang,” Lamben Sare berpamitan pada Ibunya. Ia pun menceritakan tentang pohon raksasa di tengah hutan dan keinginannya untuk menemukan ujung pohon tersebut.
“Lamben Sare anakku, apakah kamu hendak meninggalkan ibu sendirian? Hanya kamu yang ibu punya. Ibu tidak bisa hidup sendirian anakku,” ucap Ibu Lamben dengan sedih. Ia merasa jika Lamben Sare akan meninggalkannya selama-lamanya.
“Ibu, aku harus menemukan ujung pohon raksasa itu. Aku hanya akan pergi beberapa hari saja,” Lamben Sare meyakinkan ibunya.
“Apa yang kamu inginkan dari pohon raksasa itu nak? Ibu khawatir jika kamu pergi, maka kamu tidak akan bisa kembali lagi pada ibu selamanya,” ibu Lamben Sare mulai menangis.
Lamben Sare tidak peduli. Meski ibunya terus melarangnya, ia tetap memilih pergi.
“Baiklah, kamu boleh pergi nak,” ibu Lamben Sare akhirnya mengalah. Tapi ia memberikan satu syarat kepada Lamben Sare, “tapi izinkan ibu untuk mengunjungimu setiap hari.”
Lamben Sare menerima syarat yang diberikan oleh ibunya. Setelah mencium kedua tangan ibunya, Lamben Sare segera menuju halaman rumahnya.
“Sayap, keluarlah!” ucap Lamben Sera. Lamben Sare terbang menuju hutan.
Ibu Lamben Sare menepati janjinya. Setiap hari ia selalu mengunjungi Lamben Sare. Semenjak kepergian Lamben Sare ia tidak pernah lagi pergi ke ladang. Pada pagi hari ia berangkat ke hutan membawakan makanan untuk Lamben Sare. Ia sampai ditengah hutan, tempat pohon raksasa tumbuh di siang hari. Ia pun langsung memanggil Lamben Sare.
“Lamben Sare anakku, turunlah sebentar, ibu membawakan makanan untukmu!” pinta ibu Lamben Sare.
“Ibu makanlah makanan itu. Aku belum bisa turun, aku harus segera menemukan ujung pohon raksasa ini,” tolak Lamben Sare.
Sampai sore hari, Lamben Sare terus mengabaikan panggilan ibunya. Ia terus terbang dari satu dahan ke dahan yang lain.
“Ibu pulanglah, jangan menunggu!” Teriak Lamben Sare dari atas pohon raksasa.
Ibu Lamben Sare kecewa, meski begitu ia menurut saja. Setelah menunggu sebentar, ia pun pulang. Sebab ia harus sudah sampai kembali di rumah sebelum matahari tenggelam. Begitu setiap hari.
Lambe Sare terus terbang dari pagi sampai malam, ia tidak pernah beristirahat. Ia sudah bertekad untuk menemukan ujung pohon raksasa. Ia terus saja terbang, ke atas dan semakin ke atas. Sampai-sampai ia tidak lagi bisa mendengar panggilan ibunya yang datang membawa makanan setiap hari.
Sudah lebih dari seminggu, Lamben Sare belum juga berhasil. Ia mulai kelelahan. Lamben Sare memutuskan untuk beristirahat. Lamben Sare duduk di dahan pohon raksasa, kepalany menyandar pada batang pohon raksasa. Lamben Sare menguap berkali-kali, matanya terasa berat, iapun tertidur.
Tanpa disadari, Lamben Sare tidur selama tiga hari. Saat terbangun Lamben Sare merasa kebingungan, kepalanya terasa sakit. Tapi ia tidak pernah tahu, berapa lama ia sudah tertidur.
Tidak ada hasil, Lamben Sare akhirnya memutuskan untuk pulang. Lamben Sare yang kelelahan tidak lagi bisa mengepakkan sayapnya. Tubuhnya kehabisan tenaga. Ia terpaksa turun sendiri dari satu dahan ke dahan lainnya. Memerlukan waktu yang sangat lama untuk bisa mencapat dasar hutan. Hampir-hampir saja ia mati kelaparan. Lamben Sare pun mulai meneteskan air mata, betapa menyesalnya ia karena tidak mendengarkan perkataan ibunya.
Berhari-hari pula, dengan bersusah payah, Lamben Sare berhasil turun ke dasar hutan. Betapa terkejutnya ia saat melihat ibunya tidur bersandar pada batang pohon raksasa. Ibunya tertidur sambil memeluk keranjang bambu yang berisi makanan untuknya.
Lamben Sare memeluk ibunya, membuat ibunya terbangun.
“Lamben Sare anakku,” ucap ibu Lamben Sare penuh haru. Ia tidak percaya jika anaknya sudah kembali.
“Maafkan aku ibu, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan ibu lagi,” ucap Lamben Sare penuh penyesalan.
“Ibu aku lapar, bolehkah aku memakan makanan yang ibu bawa?” pinta Lamben Sare. Perutnya terus berbunyi, sudah tidak sabar untuk diisi.
Ibu Lamben Sare mengangguk. Ia menggelar kain dan menata makanan. Dengan penuh bahagia, ia menatap Lamben Sare yang makan dengan lahap. Lamben Sare menghabiskan semua makanan yang dibawa oleh ibunya.
Pluk. Buah berbentuk bulat berwarna merah jatuh dari pohon raksasa. Lamben Sare segera mengambil buah itu. Ia menciumi buah itu, sepertinya bukan buah beracun. Lamben Sare menggigitnya sedikit, dan rasanya begitu manis. Lamben Sare urung menghabiskan buah itu, ia berencana akan menanamnya di ladang bersama ibunya.
Sejak saat itu, Lamben Sare pun berubah. Ia tidak lagi hanya bermain-main di udara, terbang ke sana ke mari. Setiap pagi kini ia membantu ibunya bekerja di ladang, menanam biji dari buah yang jatuh dari pohon raksasa yang tumbuh dengan subur. Tingginya pun sama dengan pohon-pohon yang lain. Batangnya berwarna cokelat dan kulit batangnya sangat halus. Buahnya juga bulat dan berwarna merah.
Lamben Sare dan ibunya hidup bahagia, mereka pun hidup berkecukupan dari hasil menjual buah yang ditanam oleh Lamben Sare. Sesekali Lamben Sare masih terbang ke udara di pagi hari. Namun tidak pernah berlama-lama sebab ia juga sangat suka bekerja di ladang. Pohon raksasa di tengah hutan pun menghilang, tidak pernah nampak lagi.
Baca juga cerpen keluarga: Madura Love Story
[…] Baca juga: Lamben Sare, Sang Anak Ajaib […]