Dongeng Rakyat Madura. Dahulu kala hiduplah seorang gadis bernama Saregenten. Ia sangat cantik, kulitnya putih dan rambutnya hitam lurus. Namun ia sangat pemalas. Setiap hari pekerjaannya hanya merias diri di depan cermin.
Suatu pagi Saregenten diminta ibunya untuk membantunya memasak nasi di dapur. Namun seperti biasa ia selalu menemukan alasan untuk menolak permintaan ibunya.
“Saregenten anakku! Bisakah kamu membantu ibu memasak di dapur? Tolong nyalakan api di tungku. Ibu hendak mencuci beras ke sumur,” pinta Ibu Saregenten dari dapur.
Saregenten masih duduk di depan cermin, ia mematut dirinya di depan kaca dan menjawab dengan malas. “Ibu hidupkan saja dulu apinya! nanti aku yang akan mencuci berasnya.”
Ibu Saregenten menurut saja. Ia segera menghidupkan api di tungku. Setelah api siap, ia memasang gerabah dan mengisinya dengan air.
“Saregenten, Ibu sudah menyiapkan api dan air untuk memasak nasi. Sekarang kau cucilah berasnya!” tutur Ibu Saregenten.
“Ibu cucilah dulu berasnya! Nanti aku yang akan memasaknya,” tolak saregenten lagi. Ia masih asyik merapikan rambutnya yang hitam dan panjang.
Ibu Saregenten masih menurut. Ia berfikir mungkin anaknya masih ada pekerjaan di dalam kamarnya. Ia kemudian pergi ke dapur dan mencuci beras. Setelah selesai ia kembali ke dapur. Tapi ia tidak menemui Saregenten di sana.
“Saregenten, ibu sudah mencuci berasnya. Sekarang kau masaklah beras in! Ibu hendak menyapu halaman.” Ibu Saregenten kembali mengingatkan Sargenten.
“Ibu masaklah dulu nasinya, setelah itu ibu bisa membersihkan rumah. Saregenten akan mengangkatnya kalau beras itu sudah masak,” Saregenten masih menolak.
Dengan sabar Ibu Saregenten menurut saja. Ia kemudian memasukkan beras yang sudah dicucinya ke dalam gerabah berisi air mendidih. Kemudian ia pergi dari dapur menuju halaman hendak menyapu.
Ibu Saregenten mulai menyapu halaman. Sementara Saregenten masih tetap di dalam kamarnya, masih mematut diri di depan cermin. Ia tidak peduli sedikit pun dengan nasi di dapur yang mulai gosong.
Ibu Saregenten mencium bau nasi yang gosong. Cepat ia meletakkan sapu lidi di tanah dan berlari menuju ke dapur. Bau nasi gosong semakin menyengat saat ia sudah sampai di dapur. Perlahan Ibu Saregenten membuka tutup gerabah dan mendapati nasi yang dimasaknya sudah hitam dan tidak bisa di makan. Ibu Saregenten merasa sedih. Ia terduduk di depan tungku sambil menangis.
“Ibu apakah nasinya sudah masak? Aku mau makan, perutku sudah lapar,” tidak lama kemudian Saregenten datang.
Mendengar suara Saregenten, Ibu Saregenten segera berdiri. Ia mengambil kain lap dan mengangkat gerabah dari atas tungku. Ia mendekati Saregenten dan seketika melemparkan panci yang berisi nasi gosong ke lantai dapur yang masih berupa tanah.
Praaang…. Gerabag pecah dan nasi berserakan di atas lantai dapur yang masih berupa tanah.
“Dasar anak pemalas. Makanlah nasi yang sudah gosong ini!” bentak Ibu Saregenten penuh amarah.
“Ayo makan! bukankah kau lapar? Makanlah nasi yang sudah kau buat gosong ini.”
Saregenten menangis bukan karena ia menyesal. Tapi karena bentakan ibunya. Ia merasa sakit hati dan tidak terima. Ia tetap merasa tidak bersalah. Saregenten meninggalkan ibunya yang masih menangis di dalam dapur. Ia menuju kamarnya, mengambil semua pakaiannya.
“Aku akan pergi. Aku tidak mau hidup dengan ibu lagi,” gumam Saregenten sambil terisak.
Selesai mengemas semua pakaiannya dengan kain sarung, Saregenten segera pergi dari rumahnya tanpa berpamitan. Meninggalkan ibunya yang terus menangis meratapi nasibnya yang sangat menyedihkan. Suaminya sudah meninggal sejak Saregenten bayi dan sekarang Saregenten tumbuh menjadi anak yang pemalas.
Saregenten terus berjalan. Ia sebenarnya kebingungan hendak kemana. Kemudian ia melihat sebuah hutan dan ia memutuskan untuk masuk ke dalam hutan itu.
“Pasti banyak buah-buahan yang tumbuh di dalam hutan itu dan aku bisa memakannya,” Pikir Saregenten.
Saregenten tidak membuang waktu, ia segera menuju hutan itu. Saat sampai di tepi hutan ia bertemu dengan segerombolan sapi yang sedang merumput.
“Wahai anak gadis yang cantik jelita! Hendak kemakah kamu?” tanya salah satu sapi yang paling besar. Pemimpin dari sapi-sapi yang lain.
“Aku hendak masuk ke dalam hutan dan aku akan tinggal di sana,” jawab Saregenten.
“Janganlah kamu terlalu masuk sampai ke dalam. Di dalam hutan ini hidup seorang raksasa yang sangat jahat. Jika kamu bertemu dengannya kamu bisa dimakan olehnya,” tutur pemimpin sapi tersebut.
“Aku tidak takut kepada apapun. Jangan coba-coba menakutiku. Sebab aku akan tetap masuk ke dalam hutan,” Saregenten berucap dengan penuh kesombongan. Ia membuang muka dan meninggalkan gerombolan sapi itu tanpa mengucapkan salam dan terima kasih.
Para gerombolan sapi hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka juga pergi dan tidak mau peduli kepada Saregenten yang sombong.
“Biarlah dia masuk ke dalam hutan. Ia akan kena batunya sendiri karena kesombongannya itu. Ayo kita pergi!” pemimpin sapi lalu berjalan menjauhi hutan diikuti oleh sapi-sapi yang lain.
Saregenten terus berjalan menyusuri hutan. Namun ia tidak menemukan satu pohon pun yang sedang berbuah. Hari semakin sore. Ia mulai kelelahan dan kelaparan. Akhirnya ia memutuskan untuk beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Ia duduk di bawah pohon tersebut, menyandarkan tubuhnya dan meluruskan kakinya. Suasana yang sejuk membuatnya cepat tertidur dengan pulas.
Tidak jauh dari tempat Saregenten tertidur, seorang raksasa yang hendak menangkap rusa mencium bau manusia. Manusia itu tidak lain adalah Saregenten.
“Hmmmmm…. aku mencium bau manusia. Sudah lama aku tidak memakan manusia,” ucap raksasa itu dengan lirih.
Raksasa yang bernama Mak Butah itu mencari asal bau yang tercium oleh hidungnya. Ia tersenyum puas saat melihat Saregenten tertidur pulas di bawah pohon. Ia punberjalan mendekati Saregenten.
“Hahahahaha….. bangunlah anak manis dan bersiaplah untuk aku makan!”
Saregenten terbangun sebab suara Mak Butah yang begitu keras dan menggelegar. Membuat burung-burung yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon berterbangan menjauh.
Saregenten mengucek-ngucek matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mak Butah, raksasa yang tubuhnya sangat besar dan tingginya hampir sama dengan pohon-pohon yang ada di hutan sedang berdiri di hadapannya hendak menerkam dirinya.
“Ampun raksasa… ampun. Tolong jangan makan aku!” pinta Saregenten ketakutan.
Tubuh saregenten menggigil dan keringat mengucur di seluruh tubunya.
“Hahaha… “ Mak Butah terus mendekati Saregenten.
“Ampunn.. aku akan melakukan apapun untukmu asal kamu tidak memakanku!”
Mak Butah tidak peduli. Ia terus mendekati Saregenten. Ia merentangkan kedua tangannya hendak menangkap Saregenten.
Saregenten berpikir keras agar Mak Butah tidak jadi menangkapnya.
“Tunggu, sangatlah rugi jika kamu memakanku sekarang. Biarkan aku tinggal bersamamu. Kau berilah aku makan hingga aku menjadi gemuk. Setelah itu barulah kau boleh memakanku,” Saregenten mencoba memberi penawaran.
Mak Butah tampak berpikir. Ia membayangkan tubuh Saregenten menjadi sangat gemuk. Ia tersenyum-senyum sendiri membayangkan daging manusia yang begitu lezat penuh lemak.
“Sambil menungguku menjadi lebih gemuk. Aku akan membantu menyapu rumahmu dan mencarikan kayu bakar untukmu,” Saregenten menambahkan penawarannya.
“Baiklah, aku setuju,” jawab Mak Butah setelah lama berpikir.
Sejak saat itu hiduplah Saregenten dengan Mak Butah di dalam sebuah goa yang sangat besar. Setiap hari ia bertugas membersihkan goa itu dan pergi mencari kayu bakar. Jika dia tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, Mak Butah akan marah dan mengancamnya akan segera memakannya. Ia juga tidak boleh pergi terlalu jauh. Jika hal itu sampai terjadi, Mak Butah akan meminta Saregenten membersihkan ulang goa yang sudah dibersihkannya.
Mak Butah selalu pergi di pagi hari dan kembali di sore hari untuk berburu. Saat mak Butah pergi Saregenten akan membersihkan goa dan pergi mencari kayu bakar. Dan ia sudah harus kembali ke dalam goa sebelum mak Butah datang.
Tidak seperti biasanya, Saregenten sengaja pergi mencari kayu bakar agak jauh dari goa. Ia terus berjalan dengan setumpuk kayu bakar yang digendongnya di punggung. Kayu-kayu itu ia gendong dengan tali yang terbuat dari serat batang pisang. Karena kelelahan ia berhenti dan duduk di batang pohon yang tumbang karena angin. Saregenten tiba-tiba menangis karena teringat ibunya. Ia sangat menyesal akan sifat pemalasnya. Sungguh saat ini ia merasakan bahwa hidup itu sangat sulit. Terbayang wajah ibunya yang kelelahan karena bekerja sepanjang hari. Pergi ke ladang, memasak, membersihkan rumah, dan menimba air di sumur. Sementara ia selalu bermalas-malasan setiap hari.
“Hai siapa namamu?” tanya seekor kelinci yang datang bersama dengan seekor rusa dan seekor monyet.
“Kenapa kamu menangis?” tanya rusa.
Saregenten segera mengusap air matanya. Dengan sedih ia menceritakan kisahnya sampai akhirnya ia tinggal bersama Mak Butah.
“Aku sangat menyesal. Saat ini aku sangat merindukan ibuku.”
Monyet melompat-lompat. ia mencari ide untuk membantu Saregenten.
“Kenapa kamu tidak melarikan diri saja,” saran monyet.
“Bagaimana aku bisa melakukannya?” saregenten tidak begitu yakin dengan saran Monyet.
Monyet kembali melompat-lompat memutari Saregenten.
“Saya ada ide. Kau tangkaplah beberapa kodok. Letakkan mereka di balik batu di dekat pintu goa. Kau ajari mereka untuk menirukan suaramu. Saat Mak Butah datang mintalah mereka untuk menahannya agar tidak masuk ke dalam goa. Sementara kamu pergilah dengan arah yang berlawanan dengan Mak Butah saat ia berburu.”
Saregenten mengucapkan terima kasih atas ide yang diberikan oleh monyet. Setelah mengucapkan salam perpisahan Saregenten segera melaksanakan saran monyet. Ia menangkap lima ekor Katak saat perjalanan pulang menuju goa. Sesampainya di goa Saregenten meletakkan kata-katak itu di balik batu dekat pintu goa dan tidak lupa mengajari mereka untuk menirukan suaranya.
Pada malam harinya Saregenten mendekati Mak Butah yang hendak tidur. Ia ingin mencari tahu ka arah mana Mak Butah akan pergi besok.
“Mak Butah, bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu”? tanya Saregenten pelan. Ia berkali-kali menahan nafasnya untuk menghalau rasa takut.
“Apa yang ingin kau tanyakan? Cepat katakan! Aku hendak tidur,” jawab Mak Butah.
“Kemanakah besok kamu akan berburu?”
“Kenapa?”
“Tadi saat aku mencari kayu bakar, aku melihat segerombolan sapi yang tersesat di dalam hutan. Saya yakin mereka tidak bisa pulang sebab mereka terus berjalan ke araha utara,” tutur Saregenten berbohong.
Mak Butah mengurungkan niatnya untuk tidur. Ia bangun dan duduk menghadap Saregenten.
“Kamu tidak berbohongkan?” Mak Butah bertanya penuh curiga.
“Untuk apa aku berbohong,” Saregenten mencoba meyakinkan.
“Baiklah, besok aku akan berburu ke arah utara.”
Saregenten bernafas lega.
Esok paginya setelah Mak Butah pergi, Saregenten juga segera pergi. Ia berjalan ke arah selatan, sengaja mengambil arah yang berlawanan dari Mak Butah. Saregenten terus berlari. Hanya satu yang diinginkannya, pergi dari hutan dan pulang ke rumahnya.
Hari sudah sore, Mak Butah kembali ke goa. Wajahnya merah penuh amarah. Hari ini tidak satu pun buruan yang ia dapatkan. Segerombolan sapi yang ia cari tidak ia temukan.
Mendengar suara langkah Mak Butah yang berdentam para katak yang sudah diajari oleh Saregenten segera mencegahnya agar tidak masuk ke dalam goa.
“Wahai Mak Butah, janganlah kau masuk ke dalam goa dulu,” Katak pertama mulai beraksi.
“Kenapa kau melarangku masuk ke dalam goa Saregenten? Dan kau pun juga telah membohongiku. Kau bilang di arah utara ada segerombolan sapi tapi aku tidak menemukan mereka,” Mak Butah sangat geram.
“Janganlah kau marah dulu Mak Butah. Maafkan aku karena telah berbohong,” Katak kedua menjawab.
“Kurang ajar. Beraninya kau berbohong kepadaku. Sebagai balasannya aku akan memakanmu. Karena seharian ini aku belum makan sama sekali.”
“Aku tahu kau akan memakanku Mak Butah. Tapi tunggulah sebentar. Aku sudah mempersipkan diri. Aku baru membersihkan diri dari sungai. Sekarang aku sedang mengganti pakaianku. Karena aku sudah siap untuk kau makan,” giliran Katak ketiga yang menjawab.
Mak Butah tertawa terbahak-bahak. Dengan bodohnya ia duduk di depan pintu goa menunggu Saregenten yang sudah pergi jauh meninggalkan hutan. Ia menunggu sampai malam. Tapi tidak ia tak lagi mendengar suara Saregenten.
“Saregenten, kenapa kau lama sekali?”
Tidak ada jawaban. “Saregenten apa kau ada di dalam goa?” Mak Butah mulai tidak sabar.
Karena tetap tidak menjawab jawaban meski sudah memanggil berkali-kali, Mak Butah memutuskan masuk ke dalam goa. Ia begitu marah karena tak ditemuinya Saregenten. Mak Butah mengamuk sejadi-jadinya. Melemparkan semua kayu bakar yang masih tersisa. Mengacak-ngacak baju Saregenten yang sengaja tidak di bawa. Ia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai goa, menendang-nendang tembok goa. Membuat semua dinding goa bergetar dan mulai retak.
Katak-katak yang bersembunyi di balik batu segera lari menjauh dari goa. Mereka terus melompat menuju rawa terdekat. Mak Butah terus mengamuk. Tanpa ia sadari perbuatannya membuat dinding-dinding goa hancur. Dan ia terkubur di dalamnya akibat ulahnya sendiri.
Saregenten sudah berhasil sampai di tepi hutan. Kepada masyarakat desa yang ditemuainya ia menanyakan jalan yang menuju ke desanya. Saregenten berhasil pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Ibunya menyambut dengan tangis penuh haru. Kedua ibu-anak itu saling berpelukan, melepaskan semua rindu dan semua penyesalannya masing-masing.
“Maafkan ibu Saregeten, Ibu tidak bermaksud mengusirmu. Ibu hanya marah sebentar. Janglah kamu pergi meninggalkan ibu lagi!”
Saregenten mengangngguk, dipeluknya ibunya sekali lagi.
“Aku juga minta maaf ibu. Aku tidak akan pernah meninggalkan ibu lagi.
Sejak saat itu, Saregenten menjadi gadis yang sangat rajin. Ia membantu semua pekerjaan ibunya. Mulai pergi ke ladang, memasak, menyapu, dan menimba air.
Baca juga: Gajah Leli di Hutan Api
[…] Baca juga: Saregenten dan Mak Butah […]