Temaramnya Kota Jakarta

Temaramnya Kota Jakarta

Temaramnya Kota Jakarta. Agustus 2015. Bulan keberangkatan saya pertama kali ke Kota Depok. Kota yang namanya lebih sering saya dengar sejak Ayu Ting Ting mulai masuk TV. Selain itu juga sejak keponakan sepupu (anaknya sepupu) saya yang bernama Izza merantau ke Depok 2 tahun lebih awal dari saya.

Tidak ada persiapan khusus dan memang tidak ada yang bisa dipersiapkan. Saya tidak punya banyak koleksi baju yang bisa dibawa. Saya juga tidak menabung banyak uang untuk bekal awal hidup di Depok. Alhasil saya berangkat dengan hanya membawa uang 300 ribu rupiah dan seedikit pakaian yang cukup dimasukkan ke dalam tas cangklong kecil.

Sebagai perlengkapan perang alias perlengkapan untuk bertahan hidup, saya bela-belain membawa rice cooker kecil ukuran 0,8 liter. Rice cooker itu sudah ada sejak saya tinggal dan kos di Kabupaten Bangkalan. Jadi bukan sengaja saya beli untuk saya bawa ke Depok. Rempong amat sih? Ya emang rempong tapi mau gimana lagi, uang yang saya bawa cuma 300 rebu. Jadi saya harus pintar-pintar membuat siasat agar dapat bertahan hidup di Depok dong.  

Hidup Terkadang Perlu Nekat

Saya berangkat menggunakan bus besar yang biasa digunakan sebagai angkutan antar provinsi. Bus yang saya naiki berwarna hijau. Ayo apa nama busnya? Hehehe. Sejujurnya saya tidak suka naik bus. Suka pusing dan mual selama perjalanan. Terus bau pesing dari toiletnya  sangat menyiksa hidung. Tapi ya apa boleh buat, saya tidak sempat beli tiket kereta api. Apalagi waktu itu saya belum terbiasa beli tiket secara online. Nah yang paling mudah didapat ya tiket bus. Beli di kecamatan juga bisa.

“Pokoknya kudu berangkat. Mau bagaimana di Depok terserah nanti ja kalo udah nyampe

Itu yang saya tanamankan kuat-kuat ke dalam hati dan pikiran saya. Saya berangkat hanya berbekal panggilan psikotes dan  wawancara kerja dari Sekolah Alam Depok. Belum tentu diterima. Untungnya Izza meyakinkan saya kalau InsyaAllah akan ada banyak peluang kerja di Depok. Kalau toh nanti tidak diterima katanya saya bisa mencoba melamar ke tempat lain. Baiklah terkadang hidup perlu nekat.

Temaramnya Kota Jakarta

“Kampung rambutan, kampung rambutan!” Teriak sang kondektur.

Semua penumpang terbangun dan yang turun di terminal kampung rambutan segera bersiap-siap. Mereka merangsek maju mendekati pintu bus bagian depan. Saya yang turun di lebak bulus memilih untuk melanjutkan tidur. Tapi saya tak bisa tidur. Perasaan saya tiba-tiba cemas.

Seperti biasa, setiap melakukan perjalanan saya diserang rasa cemas yang sedikit berlebihan. Saya takut kesasar, saya takut turun di tempat yang salah, dan takut-takut yang lainnya. Saya melirik jam digital di dinding bus bagian depan, pukul dua dini hari.

Teringat pesan Izza melalui sambungan telepon sebelum saya berangkat. “Jangan turun diterminal rambutan, bahaya.” Duh pikiranku langsung kemana-mana dan saya pun semakin cemas.

Saya menyibak gorden jendela bus dan mengamati suasana Terminal Kampung Rambutan. Masih sepi dan agak temaram. Beberapa lelaki paruh baya menunggu di dekat pintu bus. Saat penumpang turun, para lelaki paruh baya itu menyerbu dan memberikan tawaran, mungkin tawaran naik ojek, naik taksi, atau mungkin yang lainnya. Entahlah, saya tidak bisa mendengar suara mereka.

Terdampar di Terminal Lebak Bulus

“Ya Allah, saya harus ke mana ini?” bisikku dalam hati.

Terminal Lebak Bulus tak ubahnya seperti Terminal Kampung Rambutan. Tak ada penerangan yang cukup. Semuanya tampak remang. Beberapa kios sudah tutup, beberapa masih buka. Kios-kios yang masih buka ditunggui oleh beberapa lelaki yang asyik mengobrol ditemani kopi dan rokok. Entah siapa mereka.

Saya celingak-celinguk sendiri di tengah malam yang temaram. Panik dan cemas. Lelaki, ya lelaki. Hampir semua yang saya lihat adalah sosok lelaki. Apakah penglihatan saya salah? Mata saya tak dapat menemukan sosok perempuan meski satu pun. Padahal mungkin sebenarnya mereka ada.

“Ya Allah, tolong saya. Pertemukan saya dengan sosok perempuan meski satu saja”

Dalam kondisi seperti ini, jika saya tak bisa menemukan sosok perempuan, kuntilanak pun rasanya juga tak apa. Asal saya bukan satu-satunya perempuan di tengah terminal yang temaram.

>>> TO BE CONTINUED

Bagikan

2 comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *