Lelaki dan gitar. Semenjak memutuskan resign dan kembali ke kampung halaman setelah sekian lama merantau ke Depok, saya resmi menjadi pengangguran. Ya sebut saja begitu karena saya sudah tak lagi memiliki gaji bulanan. Tapi tetap, dengan penuh keyakinan saya selalu berpikir tak apa saya jadi pengangguran asal pengangguran produktif.
Produktif yang seperti apa? Memanfaatkan waktu yang ada untuk serius menggeluti aktifitas yang saya sukai. Ya berkebun di rumah, ya menulis , dan jadi tim hore adik yang lagi menjalankan usaha percetakan.
Tulisan ini tidak akan bercerita tentang pengalaman atau pun perasaan saya selama menjadi pengangguran. Saya justru ingin bercerita tentang aktifitas adik saya bersama kawan-kawannya. Para lelaki dengan dunia mereka yang tak bisa saya pahami namun dapat saya mengerti. Dunia lelaki, gitar, rokok, dan kopi.
Bukan Perempuan di Sarang Penyamun
Tiga dari tujuh hari saya gunakan untuk berkebun di rumah dan membantu ibu. Selebihnya saya gunakan untuk membantu adik saya mengurus usahanya. Sebagai lelaki yang masih muda, tentu ia memiliki banyak teman. Mau tidak mau perlahan saya juga mulai mengenal mereka.
Adik saya sering lembur, bekerja sampai pukul dua belas malam saban hari. Saya biasanya pulang lebih awal ke rumah mbak (kakak tertua). Paling malam hanya sampai pukul sepuluh malam. Berbeda dengan hari ini (25/07/2020), saya ikutan lembur dan belum pulang meski sudah pukul setengah sebelas malam.
Saya lupa kalau hari ini adalah malam Minggu. Adik saya kedatangan tamu, teman nongkrongnya. Mereka biasanya datang berkunjung ke galeri toko adik saya terutama pada malam minggu, sebuah galeri toko yang sangat kecil.
Dulu, awal-awal saat saya mulai menemani adik saya, mereka nampak sungkan kepada saya sebagai orang yang lebih tua. Tapi pelan mereka mulai nyaman bermain ke galeri toko adik saya meski ada saya. Apalagi adik saya selalu memastikan bahwa saya tak terganggu dengan kedatangan mereka.
“Santai, ini mbak saya. Masuk, masuk!” tutur adikku tiap kali mereka datang. Tidak lama setelah mereka datang saya biasanya segera pulang, tapi tidak dengan malam ini.
Gitar
Dari empat orang, saya hanya mengetahui nama dari dua diantaranya karena rumah mereka dekat dengan galeri toko. Mereka berdua adalah mahasiswa, dan tentu saja dua yang lainnya pasti sama. Mereka toh pasti seumuran.
Salah satu dari mereka membawa gitar berwarna hitam. Ada yang membawa pisang goreng, ada yang membawa minuman, dan adik saya juga menyediakan camilan. Mereka tak mengobrol banyak. Selang dari mereka datang lalu duduk, salah satu di antara mereka langsung memetik gawai gitar dan yang lainnya menyanyi.
Satu persatu lagu-lagu bergantian mereka nyanyikan. Diam-diam aku juga ikut menyanyi. Ah senangnya menulis sambil diiringi musik akustik.
Kau boleh acuhkan diriku dan anggap ku tak ada
Tapi takkan merubah perasaanku kepadamu
Kuyakin pasti suatu saat semua kan terjadi
Kau kan mencintaiku dan tak akan pernah melepasku
Lagu Once berjudul ‘Kucinta Kau Apa Adanya’ pun selesai didendangkan. Berlanjut pada lagu ungu bertajuk ‘Hampa Hatiku’.
Pernahkah kau merasa
Jarak antara kita
Kini semakin terasa
Setelah kau kenal dia
Aku tiada percaya
Teganya kauputuskan
Indahnya cinta kita
Yang tak ingin ku akhiri
Kau pergi tinggalkanku
Lagu-lagu terus dinyanyikan dan sampai pada lagu milik Noah ‘Yang Terdalam’.
Kulepas semua yang kuinginkan
Tak akan kuulangi
Maafkan jika kau kusayangi
Dan bila kumenanti
Benarkah engkau coba mengerti
Biarlah ku di sini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Rokok
Saya tak suka lelaki perokok meski pada kenyataannya semua lelaki di keluarga saya perokok. Bapak saya, kakak-kakak saya, dan adik saya. Saya pernah meminta bapak agar berhenti merokok tapi tak pernah berhasil.
“Bapak sehat kok,” selalu begitu dalihnya.
Pernah juga bertanya ke adik tentang alasannya kenapa merokok dan jawabannya, “saya kalau ada teman saja. Kalau sendirian saya nggak ngerokok.” Kalau kedua kakak saya? Saya tidak pernah bertanya.
Dan malam ini, salah satu dari teman adik saya yang masih mahasiswa itu ada yang merokok. Dia adalah yang bertugas sebagai gitaris. Saya tak habis pikir, apa dia nggak kerepotan merokok sambil memainkan gitar. Rasanya sih tidak. Dia nampak santai saja. Senar gitar terus dipetiknya sambil sesekali jari-jemarinya berpindah untuk memegang rokok yang hendak dihisap.
Entahlah, apa sih makna rokok bagi lelaki?
Baca juga: Temaramnya Kota Jakarta
Kopi
Kopi, minuman yang sering kali menemani para perokok. Banyak saya temui bahwa mereka yang perokok juga penikmat kopi. Meski sepertinya tak semua penikmat kopi adalah perokok. Contohnya ibu saya. Dia penikmat kopi, tapi bukan perokok. Sepupu perempuan saya juga. Kakak perempuan saya juga. Semuanya maniak kopi.
Lalu saya bagaimana? Saya menyukai kopi seperti mereka namun dengan cara berbeda. Jika mereka pecinta kopi yang dalam bentuk minuman maka saya adalah pecinta kopi dalam bentuk tanaman. Ya, saya suka pohon kopi, saya suka buah kopi. Saya memiliki kenangan tersendiri dengan tanaman kopi.
Semasa kuliah saya pernah PKL (Praktik Kerja Lapangan) di perkebunan kopi di daerah Banyuwangi. Selama sebulan saya belajar tentang budidaya kopi dan hidup dengan buruh perkebunan kopi. Sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan. Selain itu, saya pernah berkunjung ke perkebunan kopi milik masyarakat di daerah Paseban Bogor bersama anak didik saya. Saat itu saya masih mengajar di SMP the Indonesia Natural School. Kalau tidak salah awal tahun kemarin.
Yap, sampai di sini dulu cerita tentang lelaki, gitar, rokok, dan kopi. Saya tak tahu apa hubungan antar lelaki, gitar, rokok, dan kopi. Saya hanya mau bercerita saja. Menuangkan apa yang saya pikirkan. Sebuah pikiran tanpa kesimpulan. Toh tak semua harus disimpulkan bukan? Hehehe. Terima kasih karena sudah membaca.