Coach Bahrul Ilmi, tak hanya sekedar guru bagi saya dalam mempelajari SEO on Page. Sekarang, ia juga adalah panutan saya dalam memaknai dan menjalani hidup. Saya percaya segala sesuatu yang terjadi tidak pernah kebetulan semata. Semua saling terkait dalam jaring raksasa yang sudah ditentukan. Termasuk kenapa saya bisa kenal dengan Coach Baim meski hanya secara online.
Saat ini saya sedang membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Selama membaca, saya seringkali teringat pada Coach Baim. Saya tidak tahu apakah Coach Baim pernah tahu soal Filosofi Teras atau tidak. Tapi, Coach Baim adalah contoh nyata bagi saya sebagai orang yang menerapkan filosofi tersebut dalam kehidupan.
Memangnya apa hubungannya Coach Baim dengan Filosofi Teras? Baik saya akan menceritakan hal ihwalnya.
Buku Filosofi Teras
Seperti yang saya jelaskan di atas, buku Filosofi Teras adalah karya dari Henry Manampiring. Untuk mempermudah judul buku, ia merubah kata ‘stoisisme’ menjadi Filosofi teras. Stoisisme adalah salah satu aliran filsafat Yunani-Romawi berusia 2.000 tahun lebih. Stoisisme berasal dari kata stoa –bahasa Yunani– yang artinya teras berpilar.
Stoisisme dikenalkan oleh seorang Filsuf asal Siprus (sebuah pulau di selatan Turki) bernama Zeno. Zeno senang mengajarkan filosofinya kepada orang-orang di sebuah teras berpilar. Meski sempat meredup pada abad ke-4, pada abada 21 ini, Stoisisme kembali popular di belahan dunia Barat.
“Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tergantung pada) kita.”
Itulah salah satu kutipan dari salah satu Filsuf Stoa, Epictetus .Kutipan yang paling mengingatkan saya kepada Coach Baim.
Masih mengutip dari buku Filosofi Teras, hal-hal yang berada di bawah kendali kita adalah keinginan, tujuan, pikiran, tindakan, pertimbangan, opini atau persepsi kita. Sementara hal-hal yang diluar kendali kita adalah tindakan dan opini orang lain, peristiwa alam, dan kondisi kita saat lahir.
Bahrul Ilmi
Coach Baim lahir pada 17 September 1994. Berarti sekitar setengah bulan yang lalu Coach Baim genap berumup 26 tahun. Semoga ke depan Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah dan pertolongannya kepada Coach Baim Ya.
Coach Baim kuliah di IAIN Pontianak mengambil jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, konsentrasinya Broadcasting, angkatan 2013. Coach Baim sudah aktif ngeblog sejak semasa kuliah loh. Pada semester akhir, Coach Baim menorehkan prestasi yang luar biasa. Prestasi yang mengharumkan nama Pontianak di kancah nasional.
Tahun 2017, Coach Baim mengikuti Jambore TIK Remaja dan Dewasa dengan Disabilitas yang diadakan oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi . Di tingkat Regional Coach Baim berhasil menyabet Juara 1 pada dua kategori sekaligus. Yaitu kategori Photoshop dan Public Speaking serta kategori Internet. Ia pun maju ke tingkat nasional mewakili Pontianak dan kembali meraih juara 1 untuk kategori Internet.
Coach Baim dan Filosofi Stoa
Ya, melalui akun instagramnya saya jadi tahu bahwa Coach Baim adalah penyandang disabilitas daksa sejak lahir. Tapi coba tengok semua akun media sosialnya, kita tak akan menemukan kesedihan sedikitpun. Justru, tergambar jelas bahwa Coach Baim begitu semangat menjalani kegiatannya sehari-hari.
Lantas, apakah Coach Baim tak pernah merasa sedih? Mungkin dulu ia. Sesuai pengakuannya pada @kerjabilitasid, semasa sekolah banyak yang menjauhinya. Tentunya ini bukan kondisi yang mudah. Tapi luar biasanya Coach Baim tak pernah menyimpan dendam kepada siapapun. Ia terus maju dan melangkah tanpa merasa rendah diri. Pada titik inilah saya merasa Coach Baim secara tidak langsung menerapkan prinsip Filosofi Stoa atau Filosofi Teras. Ia hanya berfokus pada hal-hal yang berada di bawah kendalinya. Ia tak lagi memperdulikan pandangan orang lain, tak lagi peduli terlahir sebagai siapa yang semuanya merupakan hal-hal di luar kendalinya.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip satu kalimat dari Coach Baim yang menjadi favorit saya. Kalimat ini membuktikan bahwa Coach Baim berhasil membuat orang melihatnya sebagai Bahrul Ilmi yang kompeten di bidangnya. Hingga, banyak orang yang tak lagi melihatnya sebelah mata. Pastinya, butuh perjuangan untuk mencapai hal ini.
“Bangga bisa membuat orang lain tidak melihat saya hanya karena fisik (baca: kasihan), tapi lebih karena kemampuan yang saya miliki”.
Secara umur, Coch Bahrul Ilmi jauh lebih muda dari saya. Tapi saya justru banyak belajar kepadanya tentang bagaimana menghadapi kondisi saya. Mulai sekarang saya tak boleh lagi gampang insecure, sedikit-sedikit mengeluh, dan seringkali meyalahkan keadaan. Sungguh kesulitan saya tak ada apa-apanya.