Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa, Benarkah Lebih Baik dari Kota?

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa – Sudah 2 tahun ini saya memilih menetap sementara waktu di kampung halaman. Satu hal yang saya sadari kemudian. Orang-orang di desa saya mengelola sampah rumah tangga secara mandiri.

Tak ada yang namanya petugas kebersihan dan iuran kebersihan. Sampah-sampah juga tak dikirim ke TPA. Pemerintah Desa pun tak menyediakan pusat pengelolaan sampah.

Berbeda sekali dengan kota bukan? Di mana sebagian besar sampah-sampah di kota berakhir di TPA. Wah berarti pengelolaan sampah rumah tangga di desa lebih baik dong ketimbang kota?  

Jika ada pertanyaan maupun pernyataan seperti ini, tentu saja tak bisa dibenarkan. Sebab pengelolaan sampah rumah tangga di desa tetap ada plus minusnya.

Pengertian Sampah Rumah Tangga

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita satukan pemahaman kita tentang apa itu sampah dan apa itu sampah rumah tangga. Pengertian yang akan saya berikan mengacu pada UU No. 18 Tahun 2008.

Berdasarkan undang-undang tersebut, sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang bentuknya padat. Sedangkan sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga (tinja dan sampah spesifik tidak termasuk).

Sampai di sini, kita sudah sepemahaman ya?

Sumber-Sumber Sampah Rumah Tangga di Desa

Apakah kamu pernah berpikir bahwa orang desa menghasilkan lebih sedikit sampah? Jangan salah, layaknya orang kota, orang desa juga menghasilkan banyak sampah. Tak percaya? Saya akan menceritakan pengalaman saya.

Jadi di rumah saya, secara umum, ada 5 sumber timbulan sampah. Yakni rumah, kamar mandi, dapur, pekarangan, dan berkat. Yap berkat, tahu kan? Makanan yang biasanya didapat dari kegiatan hajatan yang diadakan oleh tetangga.

Lalu apa saja jenis-jenis sampah yang dihasilkan dari semua sumber tersebut? Mari bahas satu persatu.

  1. Sampah dari rumah adalah yang paling sedikit jumlahnya. Paling hanya sisa kemasan bedak, kosmetik, atau body lotion saja. Terkadang ada juga tisu, tapi jarang sekali.
  2. Sampah dari kamar mandi juga terhitung sedikit. Hanya kemasan sabun, pasta gigi, dan sampo.
  3. Dapur adalah sumber sampah yang paling banyak. Ada sampah organik dan sampah anorganik. Sampah anorganik berupa kemasan mie instan, kopi sachet, vetsin, dan kecap. Sampah organiknya berupa sisa sayuran dan kulit buah.
  4. Sampah organik selain berasal dari dapur juga berasal dari pekarangan. Orang-orang di desa saya masih banyak yang menanam aneka buah-buahan di rumahnya. Jadi setiap hari, selalu ada saja dedaunan kering yang berguguran di pekarangan.
  5. Sampah dari besek cukup mengejutkan. Meski hitungannya sampah dari luar. Jumlahnya cukup banyak loh. Apalagi orang di desa saya suka mengadakan hajatan.

Di sini saya mau menyoroti soal berkat. Isi berkat sekarang agak berbeda dengan zaman saya masih kecil. Paling banter dulu itu isinya nasi, lauk (daging atau telur balado), dan aneka jajanan tradisional yang kemasannya masih ramah lingkungan.

Saat ini, selain makanan utama. Isi berkat berupa aneka jenis jajanan dan minuman kemasan. Jajanan tradisionalnya terkadang juga masih ada. Namun sudah menggunakan kemasan plastik. Makanya saya bilang, besek menyumbangkan sampah yang lumayan jumlahnya.

Tentu apa yang saya alami ini juga dialami oleh orang-orang di desa saya. Bisa jadi juga di desa-desa lain. Pertanyaannya, apakah orang-orang desa ini sudah paham akan ancaman sampah –terutama sampah anorganik– apabila tak terkelola dengan baik? Rasanya sih belum.

Saat Plastik Menginvasi Desa

Kebiasaan sedikit-sedikit menggunakan plastik tak hanya terjadi di kota. Orang-orang desa juga mulai ketergantungan pada plastik.

Contoh nih ya. Sebagai orang Madura yang terkenal agamis. Di desa saya, ada tradisi saling berbagi makanan dengan tetangga. Misalnya saat hajatan atau saat ada perayaan keagamaan.

Berbeda dengan zaman saya SD. Dulu makanan yang hendak diantarkan ke tetangga itu kemasannya menggunakan daun. Entah daun jati atau daun pisang.

Sekarang sudah banyak yang menggunakan styrofoam dan kertas nasi yang ada lapisan plastiknya. Padahal dua kemasan ini masuk dalam kategori kemasan sekali pakai.

Belum lagi soal besek. Jika dulu isi besek adalah jajanan tradisional tanpa kemasan plastik. Sekarang isi besek juga sudah banyak makanan ringan dan minuman produksi pabrikan.

Tak hanya itu saja. Setiap kali ke pasar, meski sudah membawa tas belanja sendiri. Tetap saja penggunaan kantong plastik masih marak terjadi. Sebab pedagang juga membungkus setiap barang pesanan pelanggan dengan kantong plastik kecil.

Apabila tak dibungkus dengan kantong plastik dulu, pembeli bisa protes. Pedagangnya pelitlah, tak sopanlah, dan sebagainya.  

Pokoknya plastik juga sudah menginvasi desa. Membuat kebiasaan orang-orang desa juga berubah. Dari sering menggunakan kemasan ramah lingkungan jadi gemar pakai kemasan plastik.

Plus Minus Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa

Saya masih menjadikan desa saya sebagai gambaran ya. Jadi di desa saya itu bisa dikatakan orang-orangnya sudah mengelola sampahnya sendiri.

Kalau kamu datang ke desa saya. Kamu tak akan banyak menemukan sampah-sampah plastik beserakan di jalan. Apalagi dibuang secara sembarangan.

Orang-orang di desa saya suka membersihkan halaman. Termasuk jalan umum di dekat pekarangannya.

Lalu apakah pengelolaan sampah di desa saya sudah bagus? Saya akan memberikan gambarannya.

#1 Menjual Sampah yang Bernilai Ekonomis

Menurut sepengetahuan saya. Sampai saat ini tidak ada edukasi soal pengelolaan sampah di desa saya. Tapi masyarakatnya sudah paham mana sampah yang bernilai ekonomis dan yang tidak.

Sampah-sampah anorganik seperti botol plastik dan pecahan ember biasanya akan mereka jual ke pemulung. Walau murah, bagi orang desa hasil penjualan sampah bisa jadi tambahan uang belanja.

Yah seperti itulah orang desa. Apa saja yang bisa menghasilkan uang akan mereka kerjakan. Selama itu halal.

#2 Membakar Sampah Secara Open Burning

Orang desa tak pernah mengirinkan sampahnya ke TPA. Di sisi lain ini nampak bagus bukan? Sebab banyak TPA yang sudah over load  dan pengelolaannya open dumping.

Sayangnya, meski tak mengirimkan sampah ke TPA. Sampah-sampah di desa berakhir dengan mengenaskan juga, yakni dibakar secara terbuka (open burning).

Kegiatan membakar sampah secara terbuka ini sudah menjadi rutinitas di desa. Apa saja sampah yang mereka bakar?

  • Sampah kemasan sekali pakai seperti kantong plastik, kemasan makanan ringan, styrofoam, dan sampah anorganik lain yang tak memiliki nilai jual.
  • Sampah organik dari pekarangan seperti seresah dauh dan sampah organik dari dapur seperti kulit buah dan sisa sayuran.

Kegiatan membakar sampah tak hanya terjadi di desa saya sih. Di banyak desa lain juga terjadi hal yang sama.

Sekitar bulan April 2021 saya pernah mengunjungi sebuah desa di Tuban. Tepatnya di Dusun Kawis Desa Klotok. Di sana saya juga menemui masyarakat yang juga membakar sampah.

Akhir-akhir ini saya juga menonton sebuah film pendek di youtube. Judulnya ‘SRI, Aku… Padamu’. Tak bermaksud menjelakkan fim ini. Sebab secara cinematografi dan naskah film ini sangat bagus (Menurut penilaian saya yang masih awam).

Saya hanya ingin mengambil contoh saja. Dalam film ini ada satu adegan yang menggambarkan salah satu pemainnya membuang sampah lalu membakarnya. Secara tak langsung ini menunjukkan kebiasaan masyarakat pedesaan Indonesia yang biasa membakar sampah.  

Bolehkah Membakar Sampah?

Pengelolaan sampah dengan cara dibakar memang punya kelebihan. Sampah yang begitu banyak jadi berkurang dalam waktu yang singkat. Pengurangan bisa sampai 90%.

Beberapa negara maju seperti Jepang juga membakar sampah. Hanya saja pembakaran sampah di sana sudah menggunakan teknologi mutahir. Sehingga menghasilkan emisi yang rendah.

Jepang membakar sampah rumah tangga di insinerator (instalasi pembakaran sampah) dengan suhu lebih dari 8000C. Energi panas dari insinerator kemudian diubah menjadi energi listrik.

Berbeda dengan pembakaran sampah di kampung saya yang dilakukan secara open burning. Pembakaran sampah dengan sistem ini sangat berbahaya bagi lingkungan.

Pembakaran sampah dapat menimbulkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan pencemaran lingkungan. Antara lain CH4, CO2, N2O, CO, NOx, SO2, VOC (Volatile Organic Compound), dan Particulate Matter 2.5.

Gas CH4, CO2, dan N2O dapat menyebabkan pemanasan global. Sedangkan gas-gas lainnya dapat merusak kesehatan baik jangka panjang maupun jangka pendek.

Bolehkah membakar sampah? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kembali mengacu pada UU No. 18 Tahun 2008. Bab X Pasal 29 Butir F menerangkan tentang larangan membakar sampai yang tak sesuai dengan persayaratan teknis pengelolaan sampah.

Kalau begitu banyak orang desa yang melanggar undang-undang dong? Saya tak berani menjawab. Saya tak punya kapasita untuk membahas ini lebih jauh.

Namun yang jelas, masyarakat desa tak punya alternatif lain. Pemerintah pun juga belum memberikan solusi yang tepat. Sebuah solusi tuntas mulai dari hulu sampai hilir.

Tugas Panjang Pengelolaan Sampah di Indonesia  

Berbicara sampah di Indonesia memang bisa bikin gedeg sendiri. Pemerintah sudah menjadikannya sebagai masalah nasional. Sayang, penyelesaiannya nampak lambat.

Permasalahan sampah tak hanya terjadi di kota. Desa pun tak luput dari masalah sampah. Sampai saat ini orang desa kerap kali membakar sampahnya secara open burning. Hal ini tentu berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.

Menghadapi kondisi ini, tentu semua orang harus mengambil bagian. Melakukan apa yang bisa dilakukan. Misal mengurangi timbulan sampah. Mengelolanya sebelum mengirim ke TPA. Bisa juga dengan mengolah sampah organik menjadi kompos.

Saya pun juga masih harus berjuang. Ibu saya sudah mau mengomposkan sampah-sampah organik dari dapur. Tapi untuk sampah berubah seresah daun Ibu tetap membakarnya.

Ibu kadung percaya, abu sisa pembakaran dedaunan kering tersebut bagus untuk tanah pertanian. Well, saya masih punya PR yang cukup berat. Seberat PR Indonesia dalam menanggulangi sampah nasional.

Bagikan

One comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *